Cetacean misterius yang terdampar di Bali (19 Feb'13). Untuk ke depannya, sebuah matras atau alas empuk harus diletakkan di antara badan hewan dan jukung untuk menghindari stress tambahan pada hewan |
Dewan
juri telah memutuskan! Tim dewan juri yang terdiri dari Danielle Kreb, Benjamin
Kahn, Randall Reeves, Robert Pitman, John Wang, Charles W. Potter dan Thomas
Jefferson setuju bahwa mamalia laut yang diduga sebagai ‘Feresa attenuata’ yang terdampar di Sanur (Bali) pada tanggal 19 Feb 2013 merupakan Kogia
sima (dwarf
sperm whale).
Sebelum ada yang mikir-mikir tentang koteklema (Physeter
macrocephalus) yang
berukuran segede bagong itu, ini saya beritahu: yang dimaksud Kogia sima itu bukan versi kecilnya
sperm whale dewasa. Kogia sima dan Physeter macrocephalus adalah dua
spesies yang berbeda, walaupun mereka memang termasuk superfamili Physeteroidea.
Teman baik saya Naneng
Setiasih pernah berkata bahwa ilmuwan bisa melakukan kesalahan. Yang ilmuwan
(atau ilmuwati) tidak boleh lakukan adalah berbohong. Apa yang seorang ilmuwan
lakukan saat dia menyadari kesalahannya adalah berkata jujur bahwa dia memang
melakukan kesalahan. Karena teringat apa kata teman saya itu, saya tulis
artikel ini. Saya ingin mengatakan bahwa saya salah melakukan identifikasi
spesies.
Di sini saya juga
ingin berbagi mengapa saya sampai bisa berpendapat hewan yang terdampar itu
adalah Feresa
attenuata (pygmy killer
whale) dan bukannya Kogia sima (dwarf sperm whale). Saya
juga ingin berbagi tentang apa yang seharusnya saya lakukan untuk menghindari
salah-identifikasi dan pembelajaran yang telah saya peroleh. Di bawah ini juga
ada beberapa petunjuk untuk membedakan kedua spesies tersebut sehingga anda
tidak perlu mengulangi kesalahan yang sama.
Kesan Pertama belum tentu selalu benar
Ada yang pernah baca
atau nonton Pride & Prejudice-nya Jane Austen? Para penggemar Jane Austen
akan tahu bahwa cerita utama First
Impression (atau ‘Kesan Pertama’, judul awal Pride & Prejudice) adalah tentang kesan pertama Elizabeth
Bennet terhadap Fitzwilliam Darcy. Saat mereka pertama kali bertemu, Elizabeth
ga begitu terkesan dengan Darcy. Sebenarnya sikap-sikap Darcy sendirilah yang
membuat Lizzy jadi salah sangka tentang kepribadian cowok kaya raya tersebut. Jadi
bukan benar-benar salah Lizzy semata. Namun akhirnya, seiring dengan
berjalannya waktu, Lizzy menyadari siapa Darcy yang sesungguhnya.
Tenang. Para pembaca
tidak perlu bingung dan mengira sudah keluar dari ranah putuliza.blogspot.com.
Anda masih bersama saya di blog cetacean kesayangan saya. Saya hanya
menyebutkan bacaan Pride & Prejudice
keluaran abad ke-18 karena ternyata – di dunia cetacean abad 21 – kesan pertama
bisa juga salah. Kesan pertama saya selama terlibat dalam kejadian terdampar
membuat saya mengira bahwa hewan yang terdampar di Sanur hari Selasa yang lalu
adalah Feresa attenuata. Baru setelah
cek dan ricek, saya sadar mengapa hewan itu Kogia dan bukannya Feresa.
Feresa attenuata, dari National University of Singapore |
Kogia sima, dari Convention on Migratory Species |
Mengapa saya pikir hewan itu Feresa attenuata:
Jika dipikir lagi,
identifikasi spesies sebenarnya memang lebih mudah jika seseorang sudah pernah
melihat spesies tersebut sebelumnya. Jadinya orang tersebut memiliki bayangan
intuitif untuk membedakan Kogia dan Feresa. Saya tidak pernah melihat Kogia
dengan mata kepala saya sendiri. Saya sudah pernah lihat paus pemandu sirip
pendek (Globicephala macrorhynchus) dan
paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens)
di alam bebas. Kedua spesies ini masuk ke dalam kelompok yang disebut
‘blackfish’. Feresa attenuata juga
masuk ke kelab tersebut. Somehow, saat saya berbicara dengan tim penolong hari
Selasa lalu (19 Feb), pikiran saya langsung melayang ke kelompok blackfish.
Begini. Dari
foto-foto yang saya peroleh dari Miss Nunome Jun, saya lihat badan si hewan
berwarna hitam. Si hewan tidak punya paruh (tidak seperti lumba-lumba hidung
botol, lumba-lumba spinner, lumba-lumba totol ataupun paus berparuh). Hal-hal
tersebut merupakan salah satu ciri blackfish. By the way, blackfish merupakan
sebutan untuk beberapa lumba-lumba ukuran besar yang masuk dalam subfamily Globicephalinae (Shirihai & Jarrett 2006). Kepala hewan
itu rada bulat (dan bukannya agak ‘lancip’). Saat saya tanya apakah bibirnya
berwarna putih, beberapa penolong mengiyakan. Kemudian saya perlihatkan
gambar-gambar blackfish. Para penolong menunjuk kepada Feresa attenuata.
Begitu
saya melihat sirip punggung yang berbentuk sabit, saya langsung mencoret
kemungkinan paus pemandu (pilot whale). Paus pemandu sirip pendek dan sirip
panjang (Globicephala sp.) tidak memiliki
sirip punggung berbentuk sabit (sirip punggung mereka besar dan agak penuh).
Paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens)
juga tidak punya sirip punggung berbentuk sabit. Paus kepala melon (Peponocephala electra) memiliki kepala
yang agak melancip (melandai curam), lebih curam sudutnya dari Pseudorca atau Feresa. Si hewan yang terdampar tersebut tidak memiliki
parutan-parutan putih sebagaimana yang dimiliki oleh lumba-lumba Risso (Grampus grisseus). Kemudian saya
bertanya jika bibir si hewan berwarna putih. Ada yang mengiyakan. Demikianlah,
saya berpikir hewan yang terdampar itu seekor Feresa.
Mengapa para juri
berpendapat hewan itu Kogia sima:
Tapi, ternyata hewan
itu bukan Feresa. Berikut adalah
rangkuman saya atas beberapa pendapat dari Danielle Kreb, Benjamin Kahn, Randall Reeves, Robert Pitman,
John Wang, Charles W. Potter dan Thomas Jefferson:
Bentuk kepala: bagian
kepala agak menjorok ke depan, dan jika dilihat dari dekat, bentuknya agak ‘lumpy’
atau berbenjol.
Bentuk dan penempatan
sirip punggung: ‘falcate’ (berbentuk sabit), sirip punggung berukuran cukup
besar dibandingkan dengan panjang badan bagian belakang.
Warna: abu-abu muda.
Tidak berwarna hitam kelam seperti pada paus kepala melon
(Peponocephala electra) atau paus pembunuh
kerdil (Feresa attenuata). Keberadaan
‘saddle patch’ tidak terbukti (‘saddle patch’ adalah bagian kulit di bawah dan
sekitar sirip punggung yang berbeda warna dari warna kulit di sekitarnya).
Bibir: dapat sedikit
berwarna (warna muda, tidak sejelas bibir putih Feresa)
Keputusan hakim: Kogia sima, dwarf sperm whale.
Pengecekan lapangan
‘Keputusan hakim’ dikeluarkan
pada Kamis malam yang lalu (21 Feb), tapi saya masih penasaran kenapa saya
melakukan kesalahan tersebut. Saya juga ingin memberitahukan kepada para
penolong bahwa spesies tersebut bukan Feresa
seperti dugaan awal. Karenanya saya kembali ke Sanur pada Jumat pagi yang lalu
(22 Feb). Saya membawa ‘kitab suci’ saya, buku identifikasi Shirihai and Jarrett (2006).
Pertama-tama saya
mengunjungi Made Sudarma yang bekerja di Ena Dive. Made ikut dalam tim penolong
pertama (pada jam 7 pagi tanggal 19 Feb) dengan cara menggiring si hewan
kembali ke laut dengan tiga sekoci. Saya perlihatkan dua gambar Feresa attenuata dan Kogia sima. Made tidak yakin yang mana
spesies yang terdampar hari itu. Tapi dia berpendapat bahwa si hewan tidak
memiliki bibir putih. Perut si hewan juga tidak putih. Made tidak melihat
semacam insang di daerah kepala hewan, yang merupakan ciri khusus Kogia. Made berkata
bahwa mata si hewan sangat kecil (tidak seperti di buku Shirihai dan Jarrett).
Warna kulit si hewan tidak hitam pekat (Feresa
biasanya hitam pekat). Warnanya lebih ke hitam abu-abu.
Kepada Made saya
perlihatkan foto anak pantai Mochang sedang mengurus si hewan di atas jukung. Saat
itulah baru saya sadar bahwa saya salah mengartikan foto tersebut. Saya pikir
tangan Mochang bersandar di atas tubuh hewan hingga ke arah kiri, ke arah kepala.
Karena itulah saya tidak terlalu memperhatikan foto tersebut, karena saya pikir
kita tidak dapat melihat kepala si hewan dengan jelas. Baru hari Jumat yang
lalu, saat saya kembali ke TKP di Sanur, saya menyadari bahwa kepala si hewan
bukanlah kepala seekor Feresa.
Foto yang seharusnya saya pelajari dengan lebih baik |
Kemudian saya pergi
ke warung sebelah di mana pada hari Selasa yang lalu saya memperoleh foto-foto
dari Nunome Jun. Saya kembali bertemu dengan Wayan Wiranata and Jun-san di sana.
Pertama-tama saya perlihatkan gambar Feresa
ke Wayan. Dia oke-oke saja. Kemudian saya perlihatkan gambar Kogia sima. Hampir-hampir Wayan melompat
dari bangkunya saat dia menunjuk ke buku dan – dengan logat Balinya yang kental
– berkata, ‘Itu dah! Itu dia lumba-lumbanya!’
Kami kemudian
kembali mempelajari gambar Kogia sima.
Wayan beberapa kali memastikan bahwa bentuk kepalanya sama. Mata hewan tersebut
kecil. Seluruh penampakannya aneh. Tadinya Wayan ragu-ragu apakah itu benar
lumba-lumba (mungkin yang dia maksud dengan lumba-lumba adalah yang seperti
lumba-lumba hidung botol, totol, spinner dll – jenis lumba-lumba yang ‘umum’
ditemui). Wayan tadinya berpikir apakah hewan itu paus.
Wayan mengatakan
bahwa kulit si hewan tidak terasa seperti karet (saya pernah menyentuh seekor
paus pembunuh palsu. Kulitnya terasa seperti karet. Asumsi saya, seperti itu
jugalah rasanya jika kita menyentuh kulit Feresa).
Kemudian dia berkata, ‘Kulitnya halus sekali. Seperti kulit ikan tongkol. Kayak,
mudah tergores jika disentuh. Rasanya tidak seperti menyentuh kulit
lumba-lumba.’
Saya beritahukan
Jun-san bahwa foto-fotonya telah membantu kami menyadari betapa uniknya spesies
ini. Dia mengambil foto halaman-halaman Kogia
sima dari buku Shirihai dan Jarrett untuk referensinya. Jika Jun-san tidak
memberikan foto-foto tersebut kepada saya, kita tidak akan tahu apa spesiesnya.
Saya sangat berterima kasih kepada Jun-san, dan juga kepada Wayan untuk
keterangannya.
Pembelajaran bagi saya
Kesan Pertama
belum tentu benar. Maka hindari terlalu cepat memutuskan identitas si hewan. Kirim foto-foto yang anda
peroleh ke jejaring para ahli dan tunggu komentar/keputusan mereka. Jika anda
perlu mempublikasikan kejadian tersebut (seperti yang saya lakukan dengan blog
saya dan Whale Stranding Indonesia), tulis sebagai ‘dugaan’ Spesies X. Yang seharusnya
saya katakan adalah ‘diduga sebagai Feresa’,
bukannya hanya ‘Feresa’.
Jangan hanya
memperlihatkan gambar-gambar kelompok yang masuk dalam dugaan anda. Begitu saya tahu bahwa si
hewan berkulit hitam dan berkepala agak bulat tanpa paruh, pikiran saya
langsung melayang ke kelompok blackfish. Seharusnya yang saya lakukan adalah
biarkan mereka melihat-lihat buku identifikasi, siapa tahu mereka bisa
menemukan spesies tersebut sendiri. Saya memang perlihatkan buku ke mereka,
tapi saya secara tidak sadar selalu kembali ke halaman-halaman blackfish.
Jangan membuat
pertanyaan pancingan.
Kembali ke masalah bibir putih: Jika dipikir-pikir, seharusnya saya tidak
bertanya, ‘Apakah warna bibirnya putih?’ Para sosiolog akan mengatakan bahwa
pertanyaan ini memancing. Persoalannya adalah memang ada informan-informan yang
cenderung ingin menyenangkan para penanya dengan jawaban ‘iya’. Makanya,
seharusnya yang saya tanyakan adalah ‘Apakah ada warna tertentu di bibirnya?’
Dengarkan
dengan seksama; jangan langsung mengambil kesimpulan. Saat saya mewawancarai para
penyelamat pada hari Selasa (19 Feb) yang lalu, saya melupakan satu informasi
penting. Seorang penolong dari Ena Dive bertanya apakah si hewan bernafas
dengan insang. Jika dipikir-pikir, bisa jadi si penolong itu bertanya demikian
karena dia pikir dia melihat ‘insang’ pada hewan yang terdampar tersebut. Hanya
Kogia sp. yang punya penampakan
seperti ada insang di kepalanya. Tapi bisa juga sih bahwa bapak tersebut
bertanya demikian karena tidak tahu bahwa mamalia laut bernafas dengan
paru-paru. Mungkin beliau pikir mamalia laut bernafas dengan insang, seperti
ikan. Poin saya adalah: dengarkan baik-baik. Mulai wawancara dengan keadaan
ibarat kanvas putih. Tidak ada dugaan bawaan kita sendiri.
Pelajari
foto-foto dengan seksama. Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, saya pikir kepala si
Kogia tersebut tertutup tangan Mochang (lihat foto di atas). Foto tersebut ada
back-lighting. Terlebih lagi, pantulan matahari di Sanur membuat saya jadi
sulit untuk mempelajari foto tersebut. Yang seharusnya saya lakukan adalah
pulang ke rumah dan mempelajari foto-foto tersebut di bawah cahaya netral. Saya
sih memang ada beberapa rapat yang tidak dapat saya hindari hari itu.
Pulang-pulang baru jam 7. Kemudian saya mengedit foto untuk memasukkan nama Jun
ke dalamnya. Kemudian saya menulis laporan blog. Yang seharusnya saya lakukan
adalah mengatakan bahwa hewan itu ‘diduga sebagai Feresa’.
Bentuk kepala Kogia sima agak terlihat di foto ini |
Mengapa perlu dilakukan
identifikasi spesies dengan benar?
Dari
segi kepraktisan penyelamatan satwa terdampar, identifikasi spesies yang benar
membantu kita membagi cetacean yang sering terdampar di Bali ke dalam
kelompok-kelompok ukuran tertentu. Informasi yang benar akan membantu kami-kami
yang bergerak dalam bidang ini untuk merancang aksi penyelamatan yang lebih
baik. Termasuk di dalamnya adalah spesifikasi tandu yang perlu disiapkan untuk
tiap lokasi utama.
Identifikasi
spesies yang benar juga membantu mengkonfirmasikan keberadaan spesies yang
tadinya tidak diketahui (misalnya di Bali). Setahu saya, Bali memiliki
setidaknya 12 spesies: Lumba-lumba
spinner (Stenella longirostris spp.),
lumba-lumba totol (Stenella attenuata),
lumba-lumba hidung botol (Tursiops sp.),
paus pemandu sirip pendek (Globicephala
macrorhynchus), lumba-lumba Fraser (Lagenodelphis
hosei), lumba-lumba Risso (Grampus
grisseus), paus pembunuh kerdil (Feresa
attenuata), paus pembunuh palsu (Pseudorca
crassidens), paus bongkok (Megaptera
novaeangliae), koteklema atau sperm whales (Physeter macrocephalus), lumba-lumba gigi kasar (Steno bredanensis), dan paus Bryde (Balaenoptera edeni). Sekarang kita bisa
memasukkan dwarf sperm whale, paus sperma cebol (Kogia sima) ke dalam daftar tersebut.
Jika
satu spesies belum pernah terlihat di seantero Nusantara, maka berkat satu foto
tersebut, maka daftar cetacean Indonesia akan bertambah. Jika spesies tersebut
belum pernah terlihat di Asia, foto-foto tersebut akan menambah perbendaharaan
spesies di kawasan ini. Sekarang bayangkan jika spesies tersebut sama sekali
belum pernah terlihat di manapun. Foto-foto ataupun rekaman kejadian terdampar
tersebut tahu-tahu menyumbang besar sekali kepada khazanah pengetahuan mamalia
laut di planet ini. Tentunya para ahli perlu beberapa tahun untuk meyakinkan
bahwa spesies itu memang benar-benar baru. Tapi perjalanan menuju ke sana tidak
pernah akan mulai tanpa satu foto tersebut.
Begitulah.
Sidang ditutup. Seekor Kogia sima,
paus sperma cebol terdampar di Sanur pada tanggal 19 Feb 2013 yang lalu. Sepertinya
kejadian terdampar Selasa lalu merupakan saat pertama Kogia sima tercatat ada di Bali. Memang ada Kogia sima di tempat-tempat lain di Indonesia (daerah timur,
terutama), tapi tidak di Bali. Hewan ini sangat sulit terlihat, kebanyakan
informasi yang kita peroleh memang berasal dari kejadian terdampar.
Kogia sima. Sidang dinyatakan ditutup.
No comments:
Post a Comment