Thursday, October 18, 2012

Lima kiat untuk jalani dan selesaikan PhDmu



(This is the Indonesian version of a post titled ‘Five tips to survive your PhD’. Scroll down to the previous post or click this link for the English version)


Hari ini saya dapat satu komik lucu banget dari situs favorit saya PhDcomics.com. Komik ini tentang dokumen ‘final’ yang kudu di-submit (di sini tentang thesis S3, walaupun dokumennya bisa dokumen ‘final’ apa saja). Komik itu benar-benar mencerminkan dunia mahasiswa S3 atau PhD, jadinya saya post di sini.

Ini PhDcomic bener banget, tau ga sih...

Selain itu, komik ini juga mengingatkan saya akan ide tulisan tentang kehidupan PhD. Saya waktu itu membuat artikel ini tentang tips bersekolah di luar negeri (bhs Inggris). Ternyata artikel tersebut nomor dua paling banyak dibaca di blog ini. Karenanya, saya rasa penting (ato paling tidak, menarik bagi saya) untuk menuliskan satu artikel tentang kiat untuk hidup dengan thesis PhD/S3 kita.



Jadi dalam artikel sebelumnya itu, saya tulis tentang bagaimana menjadwalkan seminar kalian (seminar awal/konfirmasi/kolokium, seminar akhir, dan – kalo ada – seminar pertengahan). Saya juga sarankan teman-teman menuliskan thesis PhD kalian dalam format paper, bukan format buku (ini jika disetujui pembimbing dan universitas). Yang paling penting adalah teman-teman sebaiknya mensubmit thesis tersebut sebelum kembali ke tanah air tercinta. Saya tidak melakukannya, karena masih ada layout kecil dan masih menunggu editan terakhir (benar-benar terakhir) untuk bahasa Inggris. Saya berhasil menyerahkan thesis saya tiga minggu setelah kembali ke Bali. Namun selama tiga minggu itu ya thesis saya masih menghantui saya. Jadi saya sih tetap rasa, idealnya saya serahkan thesis itu di Australia sebelum pulang. 

Untuk artikel ini, saya akan mundur sedikit dan memberikan kiat memilih topik penelitian dan berhasil menjalani kehidupan PhD kita (paling tidak untuk bagian menulis thesis-nya). Saya bukannya yang paling jago di kelas, sama sekali tidak. Tapi saya tetap ada beberapa pengalaman yang bisa saya bagi dengan rekan-rekan mahasiswa S3 sekalian. Kiat-kiat ini juga dapat berguna bagi mahasiswa S2 riset.

1.       Pilih topik yang kau cintai/sukai

2.       Pilih topik yang memberikan kontribusi penting bagi bidangmu

3.       Berceritalah dengan thesismu

4.       Buat capaian kerja yang masuk akal

5.       Kelola pembimbingmu


1.       Pilih topik yang kau cintai/sukai

Ini kiat saya yang utama. Memang menggiurkan untuk mengambil satu topik penelitian yang sudah ada dananya, dibandingkan mulai dari awal untuk project yang kita cintai, tapi belum ada dananya. Jika memang ada kesempatan melakukan riset S3 dengan dana yang sudah ada, dan memang kita kebetulan suka dengan topiknya, mengapa tidak? Tapi jika teman-teman hanya memilih topik itu karena: 1) kayaknya asyik ada gelar ‘Doktor’ di depan nama kita, dan 2) kan sudah ada dananya, jadi tidak perlu capek-capek cari duit... mendingan kalian berhenti sejenak. Apa benar hal itu ingin kita lakukan selama 4 tahun lebih? Kebanyakan PhD project di Australia memerlukan lebih dari empat tahun untuk selesai. Ini mulai dari masuk hingga menyerahkan thesis ke para examiner. Plus satu semester untuk menunggu hasil dan memperbaiki thesis. Apakah kalian benar-benar mau menghabiskan 4-5 tahun dengan melakukan sesuatu yang tidak benar-benar kalian cintai? Hanya karena sudah ada dananya?

Saya punya teman yang saat ini sedang mengerjakan project yang didanai penuh, tapi hatinya tidak di situ. Tapi karena banyak kepentingan politik di project ini, maka teman saya ini harus berpacu dengan waktu, dan jadinya tidak bahagia. Apakah kalian benar-benar rela hidup tidak bahagia selama 4-5 tahun?

Terus, jika mungkin, pilihlah topik yang kau sukai, bukannya topik yang sedang beken saat ini. Misalnya, saat ini sepertinya semua orang bicara tentang perubahan iklim global. Karena topik ini sangat popular, kayaknya asyik jika topik S3 kita berkaitan dengan perubahan iklim. Jika memang ini kehendakmu, silakan saja. Tapi jangan pilih topik itu ‘hanya’ karena semua orang bicara tentang perubahan iklim. Bisa saja dalam beberapa tahun kemudian, kau il-feel (ilang feeling). Jika tidak cukup ada cinta, sulit lho untuk terus hidup dengan PhD kita!

Saya selalu mengibaratkan hidup dengan PhD itu seperti punya hubungan mesra jangka panjang. Kita harus benar-benar serius jika ingin hubungan romansa kita berhasil. Kita harus mencinta dengan seluruh rasa, dengan seluruh sel dalam badan kita. Okelah, mungkin gak benar-benar ‘harus’. Mungkin hanya ‘sebaiknya begitu’. Tapi maksudnya ngerti kan?
Pilih dengan hatimu. Dengan demikian, saat badai melanda (dan percaya deh, badai itu pasti ada), kita tetap punya energi dan kemauan untuk bersama sang kekasih – maksudku – Phd kita.

Pernikahan vs PhD. Ampun deh...


2.       Pilih topik yang memberikan kontribusi penting bagi bidangmu

Setelah memilih dengan hatimu (atau dengan sisi kanan otakmu), sekarang tiba waktunya untuk memilih dengan sisi kiri otakmu; dengan bagian diri kita yang suka menganalisis. Jadi misalnya kita sudah memilih satu topik yang oke banget, kita cinta mati dengan topik tersebut. Tapi apakah topik itu akan memberikan sumbangan berarti bagi bidangmu? Penelitian kita tidak harus mengubah dunia. Tapi apakah penelitian kita akan memberikan informasi berharga bagi orang-orang di bidang kita?

Saya ambil contoh dari riset saya di Lovina. Saya sebenarnya suka sekali dengan aspek bioakustik paus dan lumba-lumba. Kayaknya keren gitu loh, memasukkan hidrofon ke dalam air, lantas mendengarkan si lumba-lumba bercuit-cuitan. Seperti mbak Jodie Foster yang berusaha mencari pola di antara desis sinyal radio yang diterimanya dari  Very Large Array Radiotelescope di New Mexico, a la cerita di Contact-nya Carl Sagan. 

Namun, apakah informasi tentang pola akustik lumba-lumba spinner di Lovina akan membantu menyelesaikan masalah di sana? Masalah perilaku wisata lumba-lumba yang tidak lestari di Lovina? Apakah bukannya lebih baik jika saya mengumpulkan informasi yang berguna bagi konservasi dan pengelolaan wisata lumba-lumba secara lestari di sana? Alasan inilah sebenarnya yang menyebabkan saya akhirnya setuju untuk memasukkan unsur sosial, ekonomi dan tata kelola dalam riset PhD saya. Memang asyik sih, melakukan penelitian cool kayak bioakustik. Tapi hal itu bukanlah yang diperlukan Lovina saat ini. Satu hari nanti mungkin saya bisa melakukan riset bioakustik untuk lumba-lumba di Lovina. Namun saat ini, saya tahu apa yang sebaiknya saya lakukan dulu.


3.       Berceritalah dengan thesismu

Ada satu trend menarik di Australia (dan setidaknya di Amerika Serikat) dalam tiga tahun belakangan ini. Universitas-universitas di sana mendorong mahasiswa S3 mereka untuk berpartisipasi dalam kompetisi ‘Risetku dalam Tiga Menit’. Tujuannya adalah untuk menceritakan risetmu kepada kalangan umum dalam tiga menit dengan satu slide (tidak boleh ada animasi yang aneh-aneh). Selama dua kali saya ikut, saya tidak pernah menang (sulit lho, untuk non-native speaker!).Tapi, tiap kali saya ikut, saya memperoleh pemahaman yang lebih jelas tentang apa sih sebenarnya riset saya itu. Tiap kali saya juga jadi lebih bersemangat dengan riset saya!

Begini deh: siapa lagi yang akan bersemangat dengan risetmu jika bukan kamu? Jika kau tidak bisa menyarikan risetmu dalam tiga menit, dan membuat para pemirsa terpana dan minta penjelasan tambahan, bagaimana kau bisa menyakinkan bahwa risetmu memang berarti?


4.       Buat capaian kerja yang masuk akal

Pilih topik yang dapat kau selesaikan dalam 4 tahun, bukannya 10 tahun (atau seumur hidup!). PhD adalah bagian dari hidupmu. Namun, hidupmu tidak hanya terdiri dari PhDmu (walaupun sesungguhnya ada tahun-tahun yang rasanya hidup kita cuma thesis dan thesis saja). Meminjam nasehat seorang ahli pendidikan pascasarjana dari Canberra yang saya temui beberapa tahun lalu: Ini hanya program PhD. Ini bukan proyek Hadiah Nobel.

Saya kenal banyak mahasiswa yang tidak selesai pada waktunya karena proyek PhD mereka jadi terlalu besar untuk ditangani. Kadangkala, hal ini gara-gara si mahasiswa sendiri yang ingin melakukan banyak hal dan tidak realistis dalam mematok capaian kerjanya. Di sinilah peran sang pembimbing untuk menyatakan bahwa ruang lingkup yang seperti itu terlalu besar untuk satu proyek S3, dan bahwa pengumpulan data dst harus dihentikan. Bahwa si mahasiswa tidak ada waktu lagi untuk tambahan kegiatan yang memerlukan beberapa bulan lagi untuk selesai.

Namun, jika sumber pembengkakan tersebut adalah sang pembimbing, maka kau sebagai mahasiswa S3 perlu bertawar-menawar dengan para dosen/pembimbing tersebut. Lihat kiat berikut ini untuk hal tersebut. 


5.       Kelola pembimbingmu

Kiat ini saya dapat dari Prof Helene Marsh, pembimbing utama saya di James Cook University. Biasanya sekarang satu tim bimbingan di Australia S3 terdiri dari setidaknya dua pembimbing (JCU menekankan pentingnya tim pembimbing yang berasal dari lebih dari satu program studi atau fakultas). Kedua pembimbingmu akan memiliki beberapa pandangan yang berbeda tentang ke arah mana sebaiknya thesismu dibawa. Saya rasa sebaiknya kau dengar pendapat para pembimbingmu itu, karena mereka toh memang ahli di bidangnya. Namun pada akhirnya, ini thesismu. Ini hidupmu. Kau yang menentukan ke mana berjalan, kau yang menentukan bagaimana jalan ceritanya. 

Atur jadwal rutin untuk rapat dengan para pembimbing. Buat saya, rapat tiap dua minggu sekali sangat membantu proses saya untuk terus maju dengan PhD saya. Tapi begitu sudah mulai dekat dengan deadline, memang saya rapat tiap minggu dengan para pembimbing saya. Helene juga menyarankan agar para mahasiswanya ‘mengelola pembimbing mereka’. Maksudnya adalah, diskusikan kapan harus menyerahkan review untuk satu dokumen, kapan harus memutuskan jalan keluar suatu masalah besar, dll. Jika besok waktumu bertemu dengan para pembimbing, tentunya tidak bijak untuk baru menyerahkan draft untuk mereka baca hari ini. Kapan memangnya mereka ada waktu membacanya? Saya tahu ada pembimbing yang ingin mahasiswa menyerahkan bahan revisi seminggu sebelum rapat berikutnya. Bicarakan dengan pembimbingmu kapan sebaiknya waktu untuk menyerahkan bahan untuk mereka revisi. 

Pada saat yang bersamaan, jika pembimbingmu tidak mengembalikan draft setelah 10-14 hari dikirim, kau harus berani mengirimkan email untuk menanyakan hal tersebut. Rangkai kata-kata dengan baik dan sopan, jangan main frontal di email. Pembimbingmu juga punya kehidupan pribadi, jadi kalian semua sebaiknya memang menyeimbangkan kehidupan pribadi dan kehidupan PhD dengan baik. Tidak mudah memang, tapi harus!

Kalo nulis email ke pembimbing, rangkai kata-kata dengan baik...

Berkenaan dengan kiat yang sebelumnya: adalah sangat mungkin bahwa paling tidak satu pembimbingmu akan mengusulkan ekspansi. Proyek PhD jadi melar membesar. Bukannya mengikuti proposal yang sudah disepakati bersama, pembimbingmu mengusukan beberapa hal yang harus ditambahkan ke komponen riset. Walaupun sepertinya sederhana dan mungkin menarik, komponen tambahan juga berarti kerjaan tambahan. Satu saja tambahan metode data analisis statistic, misalnya, dapat memerlukan tambahan dua minggu kerja. Bayangkan jika kau harus menambahkan satu komponen ekstra ke dalam beban kerjamu. Berapa bulan lagi yang harus kau jalani untuk menyelesaikan komponen itu? Sementara waktu terus berjalan. Visa pelajarmu – terutama untuk mahasiswa AusAID – tidak gampang diperbaharui.

Berapa lama waktu yang diperlukan untuk mengerjakan hal tambahan

Berdiskusilah dengan pembimbingmu jika dia mengusulkan ekspansi riset. Ingatkan baik-baik bahwa visa pelajarmu ada tanggal kadaluwarsanya. Ingatkan bahwa kau akan memerlukan beberapa bulan tambahan untuk mengerjakan komponen tambahan tersebut. Namun usulan mereka juga bisa masuk akal. Buka mata dan telinga, dan bersiap-siaplah menampung usul mereka; usul yang wajar tentunya. Namun jika kepala dan hatimu menyatakan bahwa ekspansi kegiatan penelitian ini tidaklah masuk akal (setidaknya tidak masuk tenggat waktu),sampaikan juga hal tersebut kepada mereka. Memang perlu keberanian untuk bicara dengan mereka... tapi lakukan saja. 


Pada akhirnya, ini PhDmu. Ini bagian dari hidupmu. Kau yang pimpin proses ini.


1 comment:

Icha said...

Teman baik saya Rie memberikan komentar berikut ini. Thanks ya Rie!

Aku sudah baca artikelmu. Aku suka deh! Terutama untuk nomor 2 dan 5 yang benar-benar jadi tantangan buat PhDku. Ada beberapa hal yang bisa ditambahkan di sini:

Untuk nomor 1 (pilih topik yang kau cintai), ada kalanya kau tidak bisa melakukan apa yang ingin kau lakukan. Kau sempat sebut tentang ini di poin nomor 2 (pilih topik yang memberikan kontribusi penting bagi bidangmu). Tapi menurutku, di nomor 1 kau juga bisa tambahkan “pilih cara analisis yang kau sukai atau menarik bagimu”. Hal-hal yang akan kau lakukan setelah PhD tidak selalu sama dengan yang kau lakukan saat PhD. Jadi, misalkan kau tidak dapat mengerjakan subyek yang kau cintai (mis: karang, koala), maka kau dapat memilih piranti analisis yang membuatmu tertarik untuk belajar, dan akhirnya menjadikanmu ahli. Misalnya, analis GIS, cara melakukan wawancara, analisis DNA, ahli statistik, dll).

Untuk nomor 5 paragraf 3, supervisormu punya kehidupan pribadi. Ini benar adanya. Mereka juga ada pekerjaan-pekerjaan lain yang mereka harus lakukan. Kita sering lupa bahwa mereka juga ada mahasiswa lain atau komitmen lain. Dan dalam hal kita berdua, supervisor kita hebat karena kita bisa bertemu mereka tiap minggu. Tidak setiap mahasiswa seberuntung itu. Sudah untung jika mereka bisa bertemu mahasiswa mereka tiap bulan. Jadi, dalam beberapa kasus, kau mungkin harus tekankan pentingnya mendiskusikan draft manuskripmu. Tentunya juga harus ditanyakan dengan sopan seperti yang kau sudah bilang di atas.