Wednesday, October 3, 2012

Sejumlah 48 paus pemandu sirip pendek terdampar di Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur


Sejumlah 48 paus pemandu sirip pendek (Globicephala macrorhynchus) terdampar di Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur pada hari Senin, 1 Oktober 2012 sekitar pukul 19:00 WITA. Saya menerima berita ini berturut-turut dari Kimpul Sudarsana dan Veda Santiaji (WWF Indonesia) dan Mirza Pedju (The Nature Conservancy). Berita awalnya berasal dari Alexander S. Tanody (The Nature Conservancy, Savu Sea) yang memiliki kantor terdekat dengan tempat kejadian. 

 Foto @Yusuf Fajariyanto, TNC


Menurut Alexander, sekitar pukul 7 malam hari Senin, sebanyak 44 ekor paus pemandu sirip pendek terdampar di Desa Deme (Kec Liae, Kab Sabu Raijua). Pemerintah setempat langsung menuju lokasi. Pada pukul 4 pagi, empat ekor paus dapat dikembalikan ke laut, sedangkan banyak dari 40 ekor paus tersebut sudah mati. Paus tersebut memiliki panjang antara 2-9 m. Beberapa paus yang lain juga ditemukan di dekat tempat tersebut, total adalah 48 paus pemandu sirip pendek.

Banyak orang di Indonesia masih asing dengan kejadian terdampar. Selain itu, karena lokasi tersebut cukup terisolir, tingkat kematian paus yang tinggi tidaklah mengherankan. FYI, saya sempat menulis tips untuk menangani mamalia laut terdampar di sini (versi Indonesia dan versi Inggris).

Tentunya teman-teman saya kemudian menanyakan mengapa hal tersebut terjadi. Pertanyaan ini wajar, tapi tidak mudah dijawab. Saya tidak dapat mengesampingkan alasan patologis yang menyebabkan kejadian terdampar ini. Nekropsi perlu dilakukan untuk mengetahui apakah si hewan sakit dan karenanya terdampar. Berikut ini analisis kemungkinan penyebab kejadian tersebut.



1.       Penyakit (patologis)

Ada beberapa alasan patologis mengapa cetacean (paus dan lumba-lumba) bisa terdampar:
a.       Parasit
b.      Perdarahan dalam (internal haemorrhage) atau emboli akut (acute embolism) karena sonar buatan manusia dan kegiatan seismik buatan manusia
c.       Si binatang menelan benda asing (seperti sampah plastik) yang menyebabkan dia sakit, disorientasi dan akhirnya terdampar

Penyebab patologis perlu dibuktikan dengan nekropsi. Nekropsi di bagian kepala dan telinga dapat melihat indikasi perdarahan dalam (haemorrhage) akibat sonar atau kegiatan seismik (Cox et al. 2006; Yang et al. 2008) dan kemungkinan parasit (Morimitsu et al. 1987). Nekropsi di bagian pencernaan dapat mengungkapkan adanya benda asing (seperti sampah plastic). Nekropsi organ dalam lain seperti ginjal, hati dan kelenjar limfatik dapat mengungkapkan emboli akut (acute embolism) yang bisa menjadi indikasi dampak kegiatan seismic atau sonar (Jepson et al. 2003).

Beberapa sebab patologis (seperti benda asing dan parasit) hanya akan mempengaruhi beberapa ekor paus pemandu dalam satu kelompok, tidak seluruh kawanan. Namun karena paus pemandu (seperti halnya paus bergigi, Odontocetes) biasa bergerombol, maka jika satu hewan sakit dan terdampar (terutama pimpinannya), maka yang lain pun juga terdampar. Namun demikian, perdarahan internal atau emboli akut dapat disebabkan oleh sonar buatan manusia, sehingga mempengaruhi lebih banyak hewan di dalam kawanan.

Gempa bumi dapat juga menyebabkan paus disorientasi dan terdampar (Kirschvink 2000). Sistem kerjanya mirip dengan gangguan karena kegiatan seismik manusia, terutama dalam mengakibatkan emboli akut.

Beberapa referensi dapat digunakan untuk nekropsi paus pemandu yang terdampar di Sabu Raijua: (Morimitsu et al. 1987; Jepson et al. 2003; Jepson et al. 2005; Cox et al. 2006; Yang et al. 2008). Silakan kontak saya untuk PDF paper-paper tersebut.

2.       Disorientasi akibat badai matahari (sun storm or geomagnetic storm)

Hubungan bintik matahari dan kejadian terdamparnya koteklema (Physeter macrocephalus) dari tahun 1619 hingga 2003 di Laut Utara telah diteliti sejak tahun 2005 hingga 2009 (Vanselow & Ricklefs 2005; Vanselow et al. 2009). Para ahli tersebut menemukan bahwa peristiwa terdamparnya koteklema sebagian besar terjadi pada tahun-tahun aktif bintik matahari.

Bintik matahari adalah kawasan “hitam” pada permukaan Matahari yang sebenarnya merupakan kawasan yang lebih “dingin” daripada kawasan-kawasan di sekitarnya. Jumlah bintik matahari yang terlalu banyak dapat menimbulkan badai matahari yang memengaruhi medan magnet Bumi, dan pada gilirannya, mungkin mempengaruhi “navigasi” paus saat menjelajahi samudra.

Contohnya terjadi pada bulan Januari lalu. Pada sekitar tanggal 19 Januari 2012 terjadi letusan massa koronal (CME) pada permukaan Matahari yang mengakibatkan badai matahari dan terbentuknya aurora-aurora menakjubkan di daerah kutub tiga hari kemudian. Pada tanggal 23 Januari, sebanyak 99 ekor paus pemandu (Globicephala macrorhynchus) terdampar di Farewell Spitt di Pulau Selatan, Selandia Baru. Lebih dari sepertiga paus-paus tersebut mati. Karena menduga kedua kejadian tersebut berkaitan, pada bulan Januari yang lalu saya menghubungi Klaus Vanselow. Vanselow memeriksa nilai nT yang menggambarkan pengaruh kegiatan Matahari terhadap medan geomagnetik Bumi (semakin tinggi nilai nT, semakin tinggi aktivitas Matahari dan semakin besar anomali geomagnetic Bumi) sebelum 23 Januari. Nilai nT pada tanggal 22 Januari adalah 102 nT untuk tiga jam, suatu nilai yang sangat tinggi. Karenanya, Vanselow berpendapat bahwa ada kemungkinan besar bahwa kejadian terdampar tanggal 23 Januari tersebut dipengaruhi oleh aktivitas Matahari beberapa hari sebelumnya.

Foto Aurora @ Colin Chatfield di Saskatoon, Saskatchewan (30.09 - 1.10 2012)


Tanpa adanya nekropsi terhadap beberapa paus pemandu yang terdampar di Sabu Raijua, akan sulit bagi kita untuk mengetahui penyebab utama terdampar massal tersebut. Namun, tanpa mengesampingkan kemungkinan patologis akibat kegiatan manusia (misal; aktivitas Angkatan Laut, kapal selam, sonar buatan manusia, dll), saya mencoba menyoroti dua kejadian alam yang terjadi dalam beberapa hari ini yang mungkin bisa menjadi salah satu penyebabnya;

·         Badai matahari tgl  30 September 2012
·         Gempa bumi 27, 29 dan 30 September 2012

Badai matahari

NOAA dan Spaceweather.com melaporkan adanya badai geomagnetik matahari yang cukup kuat (G3 - strong) yang melanda Bumi tanggal 30 September sore (GMT) hingga 1 Oktober pagi (GMT). Badai matahari itu terjadi karena Coronal Mass Ejection (Lemparan Massa Korona) matahari tgl 27 September 2012. 

Gempa bumi

Dalambeberapa hari ini, ada tiga gempa bumi yang berada di Indonesia Tengah:

27 Sept 2012, 4.8 Richter, Naisano Dua, Timor Barat, 10:28:40 UTC (17:28:40 WIB)
29 Sept 2012, 4.8 Richter, northeast Palue, Kab Sikka, Flores, 16:25:41 UTC (23:25:41 WIB)
30 Sept 2012, 4.4 Richter, NNW of Tobelo, Sulawesi Utara, 22:47:25 UTC (1 Oktober 2012, 05:47:25 WIB)

Saya cenderung menyoroti dua gempa bumi di Timor dan Flores (27 dan 29 September) karena jaraknya yang dekat dengan Pulau Sabu. Gempa 27 September memiliki episentrum lebih dangkal daripada gempa 29 September (98.1 km vs 587.3 km). Dugaan sangat kasar dari saya adalah gempa tgl 27 September (82 km utara Kupang) memberikan pengaruh lebih banyak terhadap gerombolan paus pemandu tersebut. Jika benar gempa tersebut ‘mengagetkan’ para paus, sehingga terjadi dekompresi, maka badai matahari 30 September juga dapat memperparah navigasi mereka yang sudah mengalami emboli.


Kesimpulan

Tanpa adanya nekropsi terhadap paus-paus yang terdampar, saya cenderung menghubungkan kejadian terdampar ini dengan dua gempa bumi di NTT (27 dan 29 September) atau dengan badai matahari (30 September – 1 Oktober). Sekalipun demikian, saya tidak dapat mengesampingkan adanya gangguan karena sonar maupun seismik dari kegiatan manusia. 

Untuk itu, berikut ini rekomendasi saya untuk kejadian terdampar Sabu Raiju:

1. Lakukan nekropsi secepatnya terhadap paus-paus pemandu sirip pendek yang masih ada di Sabu Raijua

2. Ambil DNA sample untuk analisis lanjutan tentang populasi paus tersebut

3. Cek Angkatan Laut apakah ada latihan sonar di daerah tersebut sebelum atau pada tanggal 1 Oktober 2012


Berikut adalah rekomendasi untuk pengelolaan jangka panjang:


1. Latih Pemda dan para pemangku kepentingan setempat (terutama kawasan Laut Sawu dan daerah terpencil lainnya) untuk penanganan mamalia laut terdampar

2. Latih lembaga penelitian dan dokter-dokter hewan, terutama di kawasan terpencil, untuk dapat melakukan nekropsi dan analisis forensik pasca terdamparnya paus dan lumba-lumba

3. Saat ini rekan-rekan yang tergabung dalam milis Marine Mammals Indonesia sedang membangun databasewebsite yang merekap kejadian terdampar dari tahun 1987 hingga sekarang. Jika website tersebut sudah jadi (diharapkan pertengahan Oktober 2012), mungkin Kementrian dapat menggunakan website tersebut untuk data dan informasi penanganan kasus mamalia laut yang terdampar di Indonesia


Pustaka:



Cox, T. M., Ragen, T. J., Read, A. J., Vos, E., Baird, R. W., Balcomb, K., Barlow, J., Caldwell, J., Cranford, T., Crum, L., D'Amico, A., D'Spain, G., Fernandez, A., Finneran, J., Gentry, R., Gerth, W., Gulland, F., Hildebrand, J., Houser, D., Hullar, T., Jepson, P. D., Ketten, D., MacLeod, C. D., Miller, P., Moore, S., Mountain, D. C., Palka, D., Ponganis, P., Rommel, S., Rowles, T., Taylor, B., Tyack, P., Wartzok, D., Gisiner, R., Mead, J. & Benner, L. 2006, 'Understanding the impact of anthropogenic sound on beaked whales', Journal of Cetacean Resource Management, vol. 7, no. 3, pp. 177-187.
Jepson, P. D., ARbelo, M., Deaville, R., Patterson, I. A. P., Castro, P., Baker, J. R., Degollada, E., Ross, H. M., Herraez, P., Pocknell, A. M., Rodriguez, F., Howie, F. E., Espinosa, A., Reid, R. J., Jaber, J. R., Martin, V., Cunningham, A. A. & Fernandez, A. 2003, 'Gas-bubble lesions in stranded cetaceans', Nature, vol. 425, no. 575-576.
Jepson, P. D., Deaville, R., Patterson, I. A. P., Pocknell, A. M., Ross, H. M., Baker, J. R., Howie, F. E., Reid, R. J., Colloff, A. & Cunningham, A. A. 2005, 'Acute and Chronic Gas Bubble Lesions in Cetaceans Stranded in the United Kingdom', Veterinary Pathology Online, vol. 42, no. 3, pp. 291-305.
Kirschvink, J. L. 2000, 'Earthquake Prediction by Animals: Evolution and Sensory Perception', Bulletin of the Seismological Society of America, vol. 90, no. 2, pp. 312-323.
Morimitsu, T., Nagai, T., Ide, M., Kawano, H., Naichuu, A., Koono, M. & Ishii, A. 1987, 'Mass stranding of Odontoceti caused by parasitogenic eighth cranial neuropathy', Journal of Wildlife Diseases, vol. 23, no. 4, pp. 586-590.
Vanselow, K. H. & Ricklefs, K. 2005, 'Are solar activity and sperm whale Physeter macrocephalus strandings around the North Sea related?', Journal of Sea Research, vol. 53, no. 4, pp. 319-327.
Vanselow, K. H., Ricklefs, K. & Colijn, F. 2009, 'Solar Driven Geomagnetic Anomalies and Sperm Whales (Physeter macrocephalus) Strandings Around the North Sea: An Analysis of Long Term Datasets', The Open Marine Biology Journal, vol. 3,  pp. 89-94.
Yang, W.-C., Chou, L.-S., Jepson, P. D., R.L. Brownell, J., Cowan, D., Chang, P.-H., Chiou, H.-I., Yao, C.-J., Yamada, T. K., Chiu, J.-T., Wang, P.-J. & Fernandez, A. 2008, 'Unusual cetacean mortality event in Taiwan, possibly linked to naval activities', Veterinary Record, vol. 162,  pp. 184-186.

No comments: