Sejumlah
48 paus pemandu sirip pendek (Globicephala
macrorhynchus) terdampar di Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur pada hari
Senin, 1 Oktober 2012 sekitar pukul 19:00 WITA. Saya menerima berita ini
berturut-turut dari Kimpul Sudarsana dan Veda Santiaji (WWF Indonesia) dan
Mirza Pedju (The Nature Conservancy). Berita awalnya berasal dari Alexander S.
Tanody (The Nature Conservancy, Savu Sea) yang memiliki kantor terdekat dengan
tempat kejadian.
Foto @Yusuf Fajariyanto, TNC
Menurut
Alexander, sekitar pukul 7 malam hari Senin, sebanyak 44 ekor paus pemandu sirip
pendek terdampar di Desa Deme (Kec Liae, Kab Sabu Raijua). Pemerintah setempat
langsung menuju lokasi. Pada pukul 4 pagi, empat ekor paus dapat dikembalikan
ke laut, sedangkan banyak dari 40 ekor paus tersebut sudah mati. Paus tersebut memiliki
panjang antara 2-9 m. Beberapa paus yang lain juga ditemukan di dekat tempat
tersebut, total adalah 48 paus pemandu sirip pendek.
Banyak
orang di Indonesia masih asing dengan kejadian terdampar. Selain itu, karena lokasi
tersebut cukup terisolir, tingkat kematian paus yang tinggi tidaklah
mengherankan. FYI, saya sempat menulis tips untuk menangani mamalia laut
terdampar di sini (versi Indonesia dan versi Inggris).
Tentunya
teman-teman saya kemudian menanyakan mengapa hal tersebut terjadi. Pertanyaan
ini wajar, tapi tidak mudah dijawab. Saya tidak dapat mengesampingkan alasan patologis
yang menyebabkan kejadian terdampar ini. Nekropsi perlu dilakukan untuk
mengetahui apakah si hewan sakit dan karenanya terdampar. Berikut ini analisis
kemungkinan penyebab kejadian tersebut.
1.
Penyakit
(patologis)
Ada
beberapa alasan patologis mengapa cetacean (paus dan lumba-lumba) bisa
terdampar:
a.
Parasit
b.
Perdarahan dalam (internal haemorrhage) atau
emboli akut (acute embolism) karena sonar buatan manusia dan kegiatan seismik
buatan manusia
c.
Si binatang menelan benda asing (seperti
sampah plastik) yang menyebabkan dia sakit, disorientasi dan akhirnya terdampar
Penyebab patologis perlu dibuktikan dengan nekropsi.
Nekropsi di bagian kepala dan telinga dapat melihat indikasi perdarahan dalam
(haemorrhage) akibat sonar atau kegiatan seismik (Cox et al. 2006; Yang et al. 2008) dan
kemungkinan parasit (Morimitsu et al. 1987). Nekropsi di bagian pencernaan dapat
mengungkapkan adanya benda asing (seperti sampah plastic). Nekropsi organ dalam
lain seperti ginjal, hati dan kelenjar limfatik dapat mengungkapkan emboli akut
(acute embolism) yang bisa menjadi indikasi dampak kegiatan seismic atau sonar (Jepson et al. 2003).
Beberapa sebab patologis (seperti benda asing
dan parasit) hanya akan mempengaruhi beberapa ekor paus pemandu dalam satu
kelompok, tidak seluruh kawanan. Namun karena paus pemandu (seperti halnya paus
bergigi, Odontocetes) biasa bergerombol, maka jika satu hewan sakit dan
terdampar (terutama pimpinannya), maka yang lain pun juga terdampar. Namun
demikian, perdarahan internal atau emboli akut dapat disebabkan oleh sonar
buatan manusia, sehingga mempengaruhi lebih banyak hewan di dalam kawanan.
Gempa bumi dapat juga menyebabkan paus
disorientasi dan terdampar (Kirschvink 2000). Sistem kerjanya mirip dengan
gangguan karena kegiatan seismik manusia, terutama dalam mengakibatkan emboli
akut.
Beberapa referensi dapat digunakan untuk nekropsi
paus pemandu yang terdampar di Sabu Raijua: (Morimitsu et al. 1987; Jepson et al. 2003; Jepson et al. 2005; Cox et al. 2006; Yang et al. 2008). Silakan
kontak saya untuk PDF paper-paper tersebut.
2.
Disorientasi
akibat badai matahari (sun storm or geomagnetic storm)
Hubungan
bintik matahari dan kejadian terdamparnya koteklema (Physeter macrocephalus) dari
tahun 1619 hingga 2003 di Laut Utara telah diteliti sejak tahun 2005 hingga
2009 (Vanselow & Ricklefs 2005; Vanselow et al. 2009). Para ahli tersebut menemukan
bahwa peristiwa terdamparnya koteklema sebagian besar terjadi pada tahun-tahun
aktif bintik matahari.
Bintik
matahari adalah kawasan “hitam” pada permukaan Matahari yang sebenarnya
merupakan kawasan yang lebih “dingin” daripada kawasan-kawasan di sekitarnya.
Jumlah bintik matahari yang terlalu banyak dapat menimbulkan badai matahari
yang memengaruhi medan magnet Bumi, dan pada gilirannya, mungkin mempengaruhi
“navigasi” paus saat menjelajahi samudra.
Contohnya
terjadi pada bulan Januari lalu. Pada sekitar tanggal 19 Januari 2012 terjadi
letusan massa koronal (CME) pada permukaan Matahari yang mengakibatkan badai
matahari dan terbentuknya aurora-aurora menakjubkan di daerah kutub tiga hari
kemudian. Pada tanggal 23 Januari, sebanyak 99 ekor paus pemandu (Globicephala macrorhynchus) terdampar di
Farewell Spitt di Pulau Selatan, Selandia Baru. Lebih dari sepertiga
paus-paus tersebut mati. Karena menduga kedua kejadian tersebut berkaitan, pada
bulan Januari yang lalu saya menghubungi Klaus Vanselow. Vanselow memeriksa
nilai nT yang menggambarkan pengaruh kegiatan Matahari terhadap medan
geomagnetik Bumi (semakin tinggi nilai nT, semakin tinggi aktivitas Matahari
dan semakin besar anomali geomagnetic Bumi) sebelum 23 Januari. Nilai nT pada
tanggal 22 Januari adalah 102 nT untuk tiga jam, suatu nilai yang sangat
tinggi. Karenanya, Vanselow berpendapat bahwa ada kemungkinan besar bahwa
kejadian terdampar tanggal 23 Januari tersebut dipengaruhi oleh aktivitas
Matahari beberapa hari sebelumnya.
Foto Aurora @ Colin Chatfield di Saskatoon, Saskatchewan (30.09 - 1.10 2012)
Tanpa
adanya nekropsi terhadap beberapa paus pemandu yang terdampar di Sabu Raijua,
akan sulit bagi kita untuk mengetahui penyebab utama terdampar massal tersebut.
Namun, tanpa mengesampingkan kemungkinan patologis akibat kegiatan manusia
(misal; aktivitas Angkatan Laut, kapal selam, sonar buatan manusia, dll), saya
mencoba menyoroti dua kejadian alam yang terjadi dalam beberapa hari ini yang
mungkin bisa menjadi salah satu penyebabnya;
·
Badai matahari tgl 30 September 2012
·
Gempa bumi 27, 29 dan 30 September 2012
Badai
matahari
NOAA dan Spaceweather.com
melaporkan adanya badai geomagnetik matahari yang cukup kuat (G3 - strong) yang
melanda Bumi tanggal 30 September sore (GMT) hingga 1 Oktober pagi (GMT). Badai
matahari itu terjadi karena Coronal Mass Ejection (Lemparan Massa Korona)
matahari tgl 27 September 2012.
Gempa
bumi
Dalambeberapa hari ini, ada tiga gempa bumi yang berada di Indonesia Tengah:
27 Sept 2012, 4.8
Richter, Naisano Dua, Timor Barat, 10:28:40 UTC (17:28:40 WIB)
29 Sept 2012, 4.8
Richter, northeast Palue, Kab Sikka, Flores, 16:25:41 UTC (23:25:41 WIB)
30 Sept 2012, 4.4
Richter, NNW of Tobelo, Sulawesi Utara, 22:47:25 UTC (1 Oktober 2012, 05:47:25
WIB)
Saya cenderung menyoroti dua gempa bumi di Timor dan Flores (27 dan 29
September) karena jaraknya yang dekat dengan Pulau Sabu. Gempa 27
September memiliki episentrum lebih dangkal daripada gempa 29 September (98.1
km vs 587.3 km). Dugaan sangat kasar dari saya adalah gempa tgl 27 September
(82 km utara Kupang) memberikan pengaruh lebih banyak terhadap gerombolan paus
pemandu tersebut. Jika benar gempa tersebut ‘mengagetkan’ para paus, sehingga
terjadi dekompresi, maka badai matahari 30 September juga dapat memperparah navigasi
mereka yang sudah mengalami emboli.
Kesimpulan
Tanpa adanya nekropsi terhadap paus-paus yang terdampar, saya cenderung
menghubungkan kejadian terdampar ini dengan dua gempa bumi di NTT (27 dan 29
September) atau dengan badai matahari (30 September – 1 Oktober). Sekalipun
demikian, saya tidak dapat mengesampingkan adanya gangguan karena sonar maupun
seismik dari kegiatan manusia.
Untuk itu, berikut ini rekomendasi saya untuk kejadian terdampar Sabu Raiju:
Untuk itu, berikut ini rekomendasi saya untuk kejadian terdampar Sabu Raiju:
1. Lakukan
nekropsi secepatnya terhadap paus-paus pemandu sirip pendek yang masih ada di
Sabu Raijua
2. Ambil DNA
sample untuk analisis lanjutan tentang populasi paus tersebut
3. Cek
Angkatan Laut apakah ada latihan sonar di daerah tersebut sebelum atau pada
tanggal 1 Oktober 2012
Berikut
adalah rekomendasi untuk pengelolaan jangka panjang:
1. Latih Pemda dan para pemangku
kepentingan setempat (terutama kawasan Laut Sawu dan daerah terpencil lainnya)
untuk penanganan mamalia laut terdampar
2. Latih lembaga penelitian dan dokter-dokter
hewan, terutama di kawasan terpencil, untuk dapat melakukan nekropsi dan
analisis forensik pasca terdamparnya paus dan lumba-lumba
3. Saat ini rekan-rekan yang
tergabung dalam milis Marine Mammals Indonesia sedang membangun databasewebsite yang merekap kejadian terdampar dari tahun 1987 hingga sekarang. Jika
website tersebut sudah jadi (diharapkan pertengahan Oktober 2012), mungkin
Kementrian dapat menggunakan website tersebut untuk data dan informasi
penanganan kasus mamalia laut yang terdampar di Indonesia
Pustaka:
Cox, T. M., Ragen,
T. J., Read, A. J., Vos, E., Baird, R. W., Balcomb, K., Barlow, J., Caldwell,
J., Cranford, T., Crum, L., D'Amico, A., D'Spain, G., Fernandez, A., Finneran,
J., Gentry, R., Gerth, W., Gulland, F., Hildebrand, J., Houser, D., Hullar, T.,
Jepson, P. D., Ketten, D., MacLeod, C. D., Miller, P., Moore, S., Mountain, D.
C., Palka, D., Ponganis, P., Rommel, S., Rowles, T., Taylor, B., Tyack, P.,
Wartzok, D., Gisiner, R., Mead, J. & Benner, L. 2006, 'Understanding the
impact of anthropogenic sound on beaked whales', Journal of Cetacean
Resource Management, vol. 7, no. 3, pp. 177-187.
Jepson, P. D.,
ARbelo, M., Deaville, R., Patterson, I. A. P., Castro, P., Baker, J. R.,
Degollada, E., Ross, H. M., Herraez, P., Pocknell, A. M., Rodriguez, F., Howie,
F. E., Espinosa, A., Reid, R. J., Jaber, J. R., Martin, V., Cunningham, A. A.
& Fernandez, A. 2003, 'Gas-bubble lesions in stranded cetaceans', Nature,
vol. 425, no. 575-576.
Jepson, P. D.,
Deaville, R., Patterson, I. A. P., Pocknell, A. M., Ross, H. M., Baker, J. R.,
Howie, F. E., Reid, R. J., Colloff, A. & Cunningham, A. A. 2005, 'Acute and
Chronic Gas Bubble Lesions in Cetaceans Stranded in the United Kingdom', Veterinary
Pathology Online, vol. 42, no. 3, pp. 291-305.
Kirschvink, J. L.
2000, 'Earthquake Prediction by Animals: Evolution and Sensory Perception', Bulletin
of the Seismological Society of America, vol. 90, no. 2, pp. 312-323.
Morimitsu, T.,
Nagai, T., Ide, M., Kawano, H., Naichuu, A., Koono, M. & Ishii, A. 1987,
'Mass stranding of Odontoceti caused by parasitogenic eighth cranial
neuropathy', Journal of Wildlife Diseases, vol. 23, no. 4, pp. 586-590.
Vanselow, K. H.
& Ricklefs, K. 2005, 'Are solar activity and sperm whale Physeter
macrocephalus strandings around the North Sea related?', Journal of Sea
Research, vol. 53, no. 4, pp. 319-327.
Vanselow, K. H.,
Ricklefs, K. & Colijn, F. 2009, 'Solar Driven Geomagnetic Anomalies and
Sperm Whales (Physeter macrocephalus) Strandings Around the North Sea: An
Analysis of Long Term Datasets', The Open Marine Biology Journal, vol.
3, pp. 89-94.
Yang, W.-C., Chou,
L.-S., Jepson, P. D., R.L. Brownell, J., Cowan, D., Chang, P.-H., Chiou, H.-I.,
Yao, C.-J., Yamada, T. K., Chiu, J.-T., Wang, P.-J. & Fernandez, A. 2008,
'Unusual cetacean mortality event in Taiwan, possibly linked to naval
activities', Veterinary Record, vol. 162, pp. 184-186.
No comments:
Post a Comment