Sunday, February 24, 2013

Feresa attenuata vs Kogia sima (versi Indonesia)

This article is the Indonesian version of an article about a stranding event in Bali (19 Feb'13). Click this to read the English version.


Cetacean misterius yang terdampar di Bali (19 Feb'13). Untuk ke depannya, sebuah matras atau alas empuk harus diletakkan di antara badan hewan dan jukung untuk menghindari stress tambahan pada hewan


Dewan juri telah memutuskan! Tim dewan juri yang terdiri dari Danielle Kreb, Benjamin Kahn, Randall Reeves, Robert Pitman, John Wang, Charles W. Potter dan Thomas Jefferson setuju bahwa mamalia laut yang diduga sebagai ‘Feresa attenuata’ yang terdampar di Sanur (Bali) pada tanggal 19 Feb 2013 merupakan Kogia sima (dwarf sperm whale). Sebelum ada yang mikir-mikir tentang koteklema (Physeter macrocephalus) yang berukuran segede bagong itu, ini saya beritahu: yang dimaksud Kogia sima itu bukan versi kecilnya sperm whale dewasa. Kogia sima dan Physeter macrocephalus adalah dua spesies yang berbeda, walaupun mereka memang termasuk superfamili Physeteroidea.

Teman baik saya Naneng Setiasih pernah berkata bahwa ilmuwan bisa melakukan kesalahan. Yang ilmuwan (atau ilmuwati) tidak boleh lakukan adalah berbohong. Apa yang seorang ilmuwan lakukan saat dia menyadari kesalahannya adalah berkata jujur bahwa dia memang melakukan kesalahan. Karena teringat apa kata teman saya itu, saya tulis artikel ini. Saya ingin mengatakan bahwa saya salah melakukan identifikasi spesies.

Di sini saya juga ingin berbagi mengapa saya sampai bisa berpendapat hewan yang terdampar itu adalah Feresa attenuata (pygmy killer whale) dan bukannya Kogia sima (dwarf sperm whale). Saya juga ingin berbagi tentang apa yang seharusnya saya lakukan untuk menghindari salah-identifikasi dan pembelajaran yang telah saya peroleh. Di bawah ini juga ada beberapa petunjuk untuk membedakan kedua spesies tersebut sehingga anda tidak perlu mengulangi kesalahan yang sama.



Kesan Pertama belum tentu selalu benar

Ada yang pernah baca atau nonton Pride & Prejudice-nya Jane Austen? Para penggemar Jane Austen akan tahu bahwa cerita utama First Impression (atau ‘Kesan Pertama’, judul awal Pride & Prejudice) adalah tentang kesan pertama Elizabeth Bennet terhadap Fitzwilliam Darcy. Saat mereka pertama kali bertemu, Elizabeth ga begitu terkesan dengan Darcy. Sebenarnya sikap-sikap Darcy sendirilah yang membuat Lizzy jadi salah sangka tentang kepribadian cowok kaya raya tersebut. Jadi bukan benar-benar salah Lizzy semata. Namun akhirnya, seiring dengan berjalannya waktu, Lizzy menyadari siapa Darcy yang sesungguhnya.

Tenang. Para pembaca tidak perlu bingung dan mengira sudah keluar dari ranah putuliza.blogspot.com. Anda masih bersama saya di blog cetacean kesayangan saya. Saya hanya menyebutkan bacaan Pride & Prejudice keluaran abad ke-18 karena ternyata – di dunia cetacean abad 21 – kesan pertama bisa juga salah. Kesan pertama saya selama terlibat dalam kejadian terdampar membuat saya mengira bahwa hewan yang terdampar di Sanur hari Selasa yang lalu adalah Feresa attenuata. Baru setelah cek dan ricek, saya sadar mengapa hewan itu Kogia dan bukannya Feresa.

Feresa attenuata, dari National University of Singapore
Kogia sima, dari Convention on Migratory Species


Mengapa saya pikir hewan itu Feresa attenuata:

Jika dipikir lagi, identifikasi spesies sebenarnya memang lebih mudah jika seseorang sudah pernah melihat spesies tersebut sebelumnya. Jadinya orang tersebut memiliki bayangan intuitif untuk membedakan Kogia dan Feresa. Saya tidak pernah melihat Kogia dengan mata kepala saya sendiri. Saya sudah pernah lihat paus pemandu sirip pendek (Globicephala macrorhynchus) dan paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens) di alam bebas. Kedua spesies ini masuk ke dalam kelompok yang disebut ‘blackfish’. Feresa attenuata juga masuk ke kelab tersebut. Somehow, saat saya berbicara dengan tim penolong hari Selasa lalu (19 Feb), pikiran saya langsung melayang ke kelompok blackfish.

Begini. Dari foto-foto yang saya peroleh dari Miss Nunome Jun, saya lihat badan si hewan berwarna hitam. Si hewan tidak punya paruh (tidak seperti lumba-lumba hidung botol, lumba-lumba spinner, lumba-lumba totol ataupun paus berparuh). Hal-hal tersebut merupakan salah satu ciri blackfish. By the way, blackfish merupakan sebutan untuk beberapa lumba-lumba ukuran besar yang masuk dalam subfamily Globicephalinae (Shirihai & Jarrett 2006). Kepala hewan itu rada bulat (dan bukannya agak ‘lancip’). Saat saya tanya apakah bibirnya berwarna putih, beberapa penolong mengiyakan. Kemudian saya perlihatkan gambar-gambar blackfish. Para penolong menunjuk kepada Feresa attenuata.

Begitu saya melihat sirip punggung yang berbentuk sabit, saya langsung mencoret kemungkinan paus pemandu (pilot whale). Paus pemandu sirip pendek dan sirip panjang (Globicephala sp.) tidak memiliki sirip punggung berbentuk sabit (sirip punggung mereka besar dan agak penuh). Paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens) juga tidak punya sirip punggung berbentuk sabit. Paus kepala melon (Peponocephala electra) memiliki kepala yang agak melancip (melandai curam), lebih curam sudutnya dari Pseudorca atau Feresa. Si hewan yang terdampar tersebut tidak memiliki parutan-parutan putih sebagaimana yang dimiliki oleh lumba-lumba Risso (Grampus grisseus). Kemudian saya bertanya jika bibir si hewan berwarna putih. Ada yang mengiyakan. Demikianlah, saya berpikir hewan yang terdampar itu seekor Feresa.


Mengapa para juri berpendapat hewan itu Kogia sima:

Tapi, ternyata hewan itu bukan Feresa. Berikut adalah rangkuman saya atas beberapa pendapat dari Danielle Kreb, Benjamin Kahn, Randall Reeves, Robert Pitman, John Wang, Charles W. Potter dan Thomas Jefferson:

Bentuk kepala: bagian kepala agak menjorok ke depan, dan jika dilihat dari dekat, bentuknya agak ‘lumpy’ atau berbenjol.

Bentuk dan penempatan sirip punggung: ‘falcate’ (berbentuk sabit), sirip punggung berukuran cukup besar dibandingkan dengan panjang badan bagian belakang.

Warna: abu-abu muda. Tidak berwarna hitam kelam seperti pada paus kepala melon
(Peponocephala electra) atau paus pembunuh kerdil (Feresa attenuata). Keberadaan ‘saddle patch’ tidak terbukti (‘saddle patch’ adalah bagian kulit di bawah dan sekitar sirip punggung yang berbeda warna dari warna kulit di sekitarnya).

Bibir: dapat sedikit berwarna (warna muda, tidak sejelas bibir putih Feresa)

Keputusan hakim: Kogia sima, dwarf sperm whale.


Pengecekan lapangan

‘Keputusan hakim’ dikeluarkan pada Kamis malam yang lalu (21 Feb), tapi saya masih penasaran kenapa saya melakukan kesalahan tersebut. Saya juga ingin memberitahukan kepada para penolong bahwa spesies tersebut bukan Feresa seperti dugaan awal. Karenanya saya kembali ke Sanur pada Jumat pagi yang lalu (22 Feb). Saya membawa ‘kitab suci’ saya, buku identifikasi Shirihai and Jarrett (2006).

Pertama-tama saya mengunjungi Made Sudarma yang bekerja di Ena Dive. Made ikut dalam tim penolong pertama (pada jam 7 pagi tanggal 19 Feb) dengan cara menggiring si hewan kembali ke laut dengan tiga sekoci. Saya perlihatkan dua gambar Feresa attenuata dan Kogia sima. Made tidak yakin yang mana spesies yang terdampar hari itu. Tapi dia berpendapat bahwa si hewan tidak memiliki bibir putih. Perut si hewan juga tidak putih. Made tidak melihat semacam insang di daerah kepala hewan, yang merupakan ciri khusus Kogia. Made berkata bahwa mata si hewan sangat kecil (tidak seperti di buku Shirihai dan Jarrett). Warna kulit si hewan tidak hitam pekat (Feresa biasanya hitam pekat). Warnanya lebih ke hitam abu-abu.

Kepada Made saya perlihatkan foto anak pantai Mochang sedang mengurus si hewan di atas jukung. Saat itulah baru saya sadar bahwa saya salah mengartikan foto tersebut. Saya pikir tangan Mochang bersandar di atas tubuh hewan hingga ke arah kiri, ke arah kepala. Karena itulah saya tidak terlalu memperhatikan foto tersebut, karena saya pikir kita tidak dapat melihat kepala si hewan dengan jelas. Baru hari Jumat yang lalu, saat saya kembali ke TKP di Sanur, saya menyadari bahwa kepala si hewan bukanlah kepala seekor Feresa.

Foto yang seharusnya saya pelajari dengan lebih baik

Kemudian saya pergi ke warung sebelah di mana pada hari Selasa yang lalu saya memperoleh foto-foto dari Nunome Jun. Saya kembali bertemu dengan Wayan Wiranata and Jun-san di sana. Pertama-tama saya perlihatkan gambar Feresa ke Wayan. Dia oke-oke saja. Kemudian saya perlihatkan gambar Kogia sima. Hampir-hampir Wayan melompat dari bangkunya saat dia menunjuk ke buku dan – dengan logat Balinya yang kental – berkata, ‘Itu dah! Itu dia lumba-lumbanya!’

Kami kemudian kembali mempelajari gambar Kogia sima. Wayan beberapa kali memastikan bahwa bentuk kepalanya sama. Mata hewan tersebut kecil. Seluruh penampakannya aneh. Tadinya Wayan ragu-ragu apakah itu benar lumba-lumba (mungkin yang dia maksud dengan lumba-lumba adalah yang seperti lumba-lumba hidung botol, totol, spinner dll – jenis lumba-lumba yang ‘umum’ ditemui). Wayan tadinya berpikir apakah hewan itu paus.  

Wayan mengatakan bahwa kulit si hewan tidak terasa seperti karet (saya pernah menyentuh seekor paus pembunuh palsu. Kulitnya terasa seperti karet. Asumsi saya, seperti itu jugalah rasanya jika kita menyentuh kulit Feresa). Kemudian dia berkata, ‘Kulitnya halus sekali. Seperti kulit ikan tongkol. Kayak, mudah tergores jika disentuh. Rasanya tidak seperti menyentuh kulit lumba-lumba.’

Saya beritahukan Jun-san bahwa foto-fotonya telah membantu kami menyadari betapa uniknya spesies ini. Dia mengambil foto halaman-halaman Kogia sima dari buku Shirihai dan Jarrett untuk referensinya. Jika Jun-san tidak memberikan foto-foto tersebut kepada saya, kita tidak akan tahu apa spesiesnya. Saya sangat berterima kasih kepada Jun-san, dan juga kepada Wayan untuk keterangannya.


Pembelajaran bagi saya

Kesan Pertama belum tentu benar. Maka hindari terlalu cepat memutuskan identitas si hewan. Kirim foto-foto yang anda peroleh ke jejaring para ahli dan tunggu komentar/keputusan mereka. Jika anda perlu mempublikasikan kejadian tersebut (seperti yang saya lakukan dengan blog saya dan Whale Stranding Indonesia), tulis sebagai ‘dugaan’ Spesies X. Yang seharusnya saya katakan adalah ‘diduga sebagai Feresa’, bukannya hanya ‘Feresa’.

Jangan hanya memperlihatkan gambar-gambar kelompok yang masuk dalam dugaan anda. Begitu saya tahu bahwa si hewan berkulit hitam dan berkepala agak bulat tanpa paruh, pikiran saya langsung melayang ke kelompok blackfish. Seharusnya yang saya lakukan adalah biarkan mereka melihat-lihat buku identifikasi, siapa tahu mereka bisa menemukan spesies tersebut sendiri. Saya memang perlihatkan buku ke mereka, tapi saya secara tidak sadar selalu kembali ke halaman-halaman blackfish.

Jangan membuat pertanyaan pancingan. Kembali ke masalah bibir putih: Jika dipikir-pikir, seharusnya saya tidak bertanya, ‘Apakah warna bibirnya putih?’ Para sosiolog akan mengatakan bahwa pertanyaan ini memancing. Persoalannya adalah memang ada informan-informan yang cenderung ingin menyenangkan para penanya dengan jawaban ‘iya’. Makanya, seharusnya yang saya tanyakan adalah ‘Apakah ada warna tertentu di bibirnya?’

Dengarkan dengan seksama; jangan langsung mengambil kesimpulan. Saat saya mewawancarai para penyelamat pada hari Selasa (19 Feb) yang lalu, saya melupakan satu informasi penting. Seorang penolong dari Ena Dive bertanya apakah si hewan bernafas dengan insang. Jika dipikir-pikir, bisa jadi si penolong itu bertanya demikian karena dia pikir dia melihat ‘insang’ pada hewan yang terdampar tersebut. Hanya Kogia sp. yang punya penampakan seperti ada insang di kepalanya. Tapi bisa juga sih bahwa bapak tersebut bertanya demikian karena tidak tahu bahwa mamalia laut bernafas dengan paru-paru. Mungkin beliau pikir mamalia laut bernafas dengan insang, seperti ikan. Poin saya adalah: dengarkan baik-baik. Mulai wawancara dengan keadaan ibarat kanvas putih. Tidak ada dugaan bawaan kita sendiri.


Pelajari foto-foto dengan seksama. Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, saya pikir kepala si Kogia tersebut tertutup tangan Mochang (lihat foto di atas). Foto tersebut ada back-lighting. Terlebih lagi, pantulan matahari di Sanur membuat saya jadi sulit untuk mempelajari foto tersebut. Yang seharusnya saya lakukan adalah pulang ke rumah dan mempelajari foto-foto tersebut di bawah cahaya netral. Saya sih memang ada beberapa rapat yang tidak dapat saya hindari hari itu. Pulang-pulang baru jam 7. Kemudian saya mengedit foto untuk memasukkan nama Jun ke dalamnya. Kemudian saya menulis laporan blog. Yang seharusnya saya lakukan adalah mengatakan bahwa hewan itu ‘diduga sebagai Feresa’.

Bentuk kepala Kogia sima agak terlihat di foto ini


Mengapa perlu dilakukan identifikasi spesies dengan benar?

Dari segi kepraktisan penyelamatan satwa terdampar, identifikasi spesies yang benar membantu kita membagi cetacean yang sering terdampar di Bali ke dalam kelompok-kelompok ukuran tertentu. Informasi yang benar akan membantu kami-kami yang bergerak dalam bidang ini untuk merancang aksi penyelamatan yang lebih baik. Termasuk di dalamnya adalah spesifikasi tandu yang perlu disiapkan untuk tiap lokasi utama.

Identifikasi spesies yang benar juga membantu mengkonfirmasikan keberadaan spesies yang tadinya tidak diketahui (misalnya di Bali). Setahu saya, Bali memiliki setidaknya 12 spesies: Lumba-lumba spinner (Stenella longirostris spp.), lumba-lumba totol (Stenella attenuata), lumba-lumba hidung botol (Tursiops sp.), paus pemandu sirip pendek (Globicephala macrorhynchus), lumba-lumba Fraser (Lagenodelphis hosei), lumba-lumba Risso (Grampus grisseus), paus pembunuh kerdil (Feresa attenuata), paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens), paus bongkok (Megaptera novaeangliae), koteklema atau sperm whales (Physeter macrocephalus), lumba-lumba gigi kasar (Steno bredanensis), dan paus Bryde (Balaenoptera edeni). Sekarang kita bisa memasukkan dwarf sperm whale, paus sperma cebol (Kogia sima) ke dalam daftar tersebut.

Jika satu spesies belum pernah terlihat di seantero Nusantara, maka berkat satu foto tersebut, maka daftar cetacean Indonesia akan bertambah. Jika spesies tersebut belum pernah terlihat di Asia, foto-foto tersebut akan menambah perbendaharaan spesies di kawasan ini. Sekarang bayangkan jika spesies tersebut sama sekali belum pernah terlihat di manapun. Foto-foto ataupun rekaman kejadian terdampar tersebut tahu-tahu menyumbang besar sekali kepada khazanah pengetahuan mamalia laut di planet ini. Tentunya para ahli perlu beberapa tahun untuk meyakinkan bahwa spesies itu memang benar-benar baru. Tapi perjalanan menuju ke sana tidak pernah akan mulai tanpa satu foto tersebut.

Begitulah. Sidang ditutup. Seekor Kogia sima, paus sperma cebol terdampar di Sanur pada tanggal 19 Feb 2013 yang lalu. Sepertinya kejadian terdampar Selasa lalu merupakan saat pertama Kogia sima tercatat ada di Bali. Memang ada Kogia sima di tempat-tempat lain di Indonesia (daerah timur, terutama), tapi tidak di Bali. Hewan ini sangat sulit terlihat, kebanyakan informasi yang kita peroleh memang berasal dari kejadian terdampar.

Kogia sima. Sidang dinyatakan ditutup.

No comments: