Tuesday, February 11, 2014

Bagaimana cara membuang bangkai paus yang mati?


This is the Indonesian version of an article on dead whale carcass disposal. Click this link for the English version. 


Sperm whale yang terdampar tgl 4 Feb yang lalu, SatuSulteng


Artikel ini sebenarnya sih tidak hanya untuk bangkai paus saja, tapi juga untuk lumba-lumba dan dugong. Secara umum pertanyaan ini sering terlontarkan, terutama dalam beberapa hari ini sejak seekor paus sperma berukuran 18m  terdampar di Pantai Morowali, Sulawesi Tengah. Memang wajar jika penanganan cetacean kecil (seperti lumba-lumba) dan dugong lebih mudah dibandingkan berusaha menyingkirkan paus yang sudah mati. Tapi mari kita mulai dari awal.




Pada sekitar tanggal 4 Februari 2014, seekor paus sperma/sperm whale Kode 3 (sudah mati, mulai membusuk) terdampar di Pantai Morowali di Sulawesi Tengah. Karena tidak ada yang tahu mau diapakan ini bangkai, pemerintah baru mengontak Whale Stranding Indonesia pada hari Jumat, 6 Februari yang lalu. Karena hewannya memangs sudah mati, sekitar Kode 3-4 di gambar di sini, maka tidak dilakukan nekropsi (lagian begitu tim nekropsi tiba, pasti sudah Kode 4 akhir). 

Kami sarankan untuk pengumpulan sampel untuk analisis genetik dan – jika masih mungkin – uji toksikologi. Kami minta pemda lokal untuk mengambil ujung sirip punggung (atau sirip yang manapun, atau daging) dan disimpan di alkohol 70-100%. Kami juga minta mereka untuk mengambil blubber atau lemak di bawah kulit jika masih mungkin (jika blubber belum membusuk). Yang juga penting adalah pengambilan foto dan ukuran badan (panjang total dan lingkar badan). Pemda lokal mengirimkan foto dan ukuran tersebut via BB dan SMS. Pemda lokal juga mengambil sampel daging untuk kemudian dikirimkan ke Indonesian Biodiversity Research Center (IBRC) Denpasar dan LIPI Jakarta untuk analisis genetik. Memang sih kita tahu itu paus sperma, tapi bagus juga kalau bisa tahu jenis kelaminnya. Selain itu, penting untuk mendapatkan genetic sequence untuk sperm whale di Indonesia untuk menentukan apakah mereka bagian dari populasi terpisah atau termasuk bagian populasi di negara/daerah lain.


Setelah mengambil semua sampel yang masih dapat dikoleksi, pertanyaan berikutnya adalah apa yang harus dilakukan dengan bangkai pausnya. Seekor lumba-lumba kecil yang mulai membusuk saja baunya luar biasa busuk. Apalagi ini seekor paus sebesar 18m, pasti baunya jauh lebih busuk dan tidak asyik untuk diutak-atik. Geraci dan Lounsbury [1] secara iseng-iseng berhadiah berkomentar bahwa “[t]he simplest way for a carcass to disappear is to turn your back on it and walk away.” Cara paling mudah untuk menyingkirkan bangkai adalah belok kiri dan maju jalan, jangan tengok ke belakang lagi. Tapi mereka juga mengakui bahwa hal tersebut hanya “bisa di daerah terpencil. Tapi bagaimana jika tempat terdamparnya si paus itu di pantai rekreasi atau di belakang rumah seseorang?”


Geraci and Lounsbury [1] kemudian mendiskusikan tujuh cara penyingkiran bangkai: 1) dibiarkan saja, 2) dikubur, 3) dipindahkan ke tempat lain, 4) diseret balik ke laut, 5) dihancurkan untuk pakan ternak (terutama untuk yang ukuran kecil), 6) diledakkan, atau 7) dibakar. Geraci dan Loundsbury tidak menyarankan untuk menenggelamkan si paus karena kesulitan teknis (pausnya sangat mengambang jika sudah Kode 3 ke atas). Meski demikian, rekan-rekan dari Jakarta Animal Aid Network dan She Dives (sekelompok penyelam wanita dari Jakarta) telah menggunakan teknik penenggelaman ini untuk menenggelamkan seekor sperm whale di Kep Seribu pada September 2012. Metodenya berhasil digunakan, dan akan saya bahas di bawah ini.


Berikut adalah tiga teknik utama untuk pembuangan bangkai yang saya sarankan untuk Indonesia, berikut pro dan kontra-nya.


1. Dibakar

Pro: mudah digunakan untuk menyingkirkan paus besar. Pembakaran adalah proses yang relatif aman dan cepat, walau waktunya tetap lumayan lama untuk paus ukuran besar.



Kontra: kita kehilangan kerangka paus untuk bahan pendidikan atau riset. Bau bangkai yang terbakar lumayan menyengat, walau tidak separah bangkai yang dibiarkan terurai tanpa diapa-apakan.



2. Dikubur

Pro: Mudah untuk cetacean kecil dan dugong. Kerangka dapat digali lagi untuk bahan pendidikan atau riset. Untuk paus besar, diperlukan setidaknya kuburan sedalam 2 meter di atas garis pasang. Jika tidak, lihat bagian kontra di bawah ini. Jika dikubur untuk digali lagi belakangan, pastikan bahwa tidak ada yang bakal mengecor semen di atas lahan tersebut untuk membuat lapangan parkir atau sejenisnya. Hal ini sempat terjadi dengan ilmuwan Bob Brownell yang dengan rajin sudah capek-capek memotong-motong seekor paus pemandu, kemudian mengubur paus tersebut di samping lapangan parkir di Pantai Cabrillo CA (“Pada musim semi berikutnya, tanpa pemberitahuan awal, bagian Lalu Lintas kota mengirim beberapa pekerja untuk memperbaiki lapangan parkir tersebut. Mereka memperluas lapangan parkir yang ada, kemudian meratakan dan mengecor semen ke atas kuburan paus saya” [1, p. 232]).



Kontra: Lumayan sulit untuk paus besar. Perlu alat penggali berat untuk menggali dan mengubur si paus, jadi bisa mahal. Waktunya juga lebih dari beberapa jam. Jika dikubur kurang dalam, dapat menarik perhatian hewan pemangsa darat dan laut. Walaupun dikubur cukup dalam, minyak yang merembes ke pasir dapat menarik perhatian ikan hiu (lihat tautan ini). Ada juga kemungkinan bahwa “bangkai yang kaya akan lemak akan naik saat sudah dikubur di dalam pasir lembut yang basah, walau bangkainya sudah ditoreh terbuka dan dibebani berton-ton batu” [1]. Hal ini terjadi dengan empat ekor paus bongkok yang dikubur di bawah garis pasang di pantai berpasir sekitar Cape Cod (USA). Dua kali dalam satu tahun tersebut, paus-paus tersebut muncul kembali ke permukaan sehingga harus dikubur ulang. Yuck.



3. Ditenggelamkan

Pro: anti-scavenger (kecuali untuk biawak, lihat di bawah). Jika bangkai kita bungkus dengan jaring ikan sebelum ditenggelamkan, dan jika lokasi penenggelaman dicatat dengan baik, maka bangkai dapat diambil belakangan untuk bahan pendidikan atau riset. Pastikan bahwa si paus ditarik dari ekor, bukan dari kepala, atau si paus tidak akan ke mana-mana. Hal ini disaksikan oleh mantan supervisor saya Helene Marsh yang berusaha menarik bangkai paus minke kepala duluan (“Mulutnya terbuka dan jadi berfungsi seperti jangkar laut raksasa. Kapal pukat penariknya tidak bisa bergerak ke mana-mana” [1, p. 234]). Untuk mencegah si paus terapung kembali, si paus perlu ‘dikempeskan’ terlebih dahulu dengan menembak perutnya dari jarak jauh untuk mengeluarkan gas di perut. Lebih baik menggunakan senjata api jarak jauh dibandingkan senjata tajam jarak pendek seperti pisau atau golok panjang karena gas di dalam perut si paus dapat meledak dengan cara yang menjijaykan. Si pengguna pisau atau golok panjang pun dapat terkena ledakan dan terciprat bagian tubuh hewan yang menjijikkan. Pastinya berbahaya dan benar-benar tidak higienis.



Kontra: perlu kapal tonda atau perahu semacam itu untuk menyeret bangkai ke tengah laut, sehingga bisa jadi mahal. Posisi bangkai di dasar dapat berubah sehingga sulit untuk ditemukan kembali.




Masyarakat Bali membakar bangkai seekor paus bongkok di Tabanan, Bali pada bulan Oktober 2007. Perlu lebih dari setengah hari (pastinya saya kurang yakin), tapi metode ini dipandang lebih efektif untuk menyingkirkan bangkai karena sulitnya pengadaan alat berat untuk penguburan. 

Proses kremasi paus bongkok Bali. Dilansir juga pada Raffles Bulletin of Zoology 2009 vol 57 issue 1

Pemda Morowali dan BPSPL Sulawesi berusaha menenggelamkan sperm whale yang barusan terdampar ke laut. Mereka menyeret si paus ke tengah laut dan melepaskannya di sana, namun bangkainya terdampar lagi. Baru saya sadar (terima kasih buat Nimal Fernando dari Ocean Park Hong Kong karena sudah mengingatkan) bahwa si paus terapung kembali karena memang sudah buoyancy positif karena adanya gas-gas di dalam perut (kemungkinan besar di usus). Jadi kembali, disarankan untuk mengempiskan si paus dengan senjata api jarak jauh sehingga paus tidak terapung lagi. Hindari menggunakan senjata tajam seperti pisau, tombak atau golok panjang, karena mereka tetap senjata jarak pendek. Si pengguna masih dapat terkena ledakan dan cipratan jika pausnya meledak. Hal ini sangat mungkin terjadi, lihat video ini.


Kembali ke metode penenggelaman. Seperti saya ceritakan di atas, metode ini pertama kali digunakan di Indonesia oleh Jakarta Animal Aid Network (JAAN) dan She Dives terhadap bangkai sperm whale di Pulau Kotok, Kep Seribu. Pada bulan September 2012, mereka menggunakan pemberat dan jaring ikan untuk menenggelamkan si paus di lepas pantai. Metodenya berhasil dijalankan. Tiga bulan kemudian, JAAN dan She Dives mengambil kembali kerangka paus dari dasar laut, sudah bersih dan siap dirangkai untuk museum. Hal ini berkat seekor biawak yang memakan bangkai paus saat masih di bawah laut. 


Bagaimana dengan metode peledakan atau dengan memindah paus ke tempat lain?


Meledakkan bangkai paus TIDAK disarankan karena berbahaya bagi teknisi dan sangat tidak nyaman bagi para pemirsa di lokasi. Percaya deh, anda pasti tidak ingin kejatuhan potongan bangkai paus di pangkuan anda, ataupun kendaraan anda yang sedang parkir nyaman di pinggir pantai. Lihat video keren ini yang mengisahkan sebuah usaha yang ‘sangat sukses’ untuk meledakkan bangkai seekor paus pada tahun 1970 di Lane County Oregon di USA (aksennya reporter Paul Linnman mengingatkan saya akan aktor film Cowboy jadul Alan Ladd). Setelah bangkai diledakkan (asli akibatnya lucu-lucu serem), para burung camar (yang sedianya ditengarai akan berpesta pora makan potongan bangkai) tidak terlihat dimanapun, sepertinya sudah “pindah selama-lamanya ke Brazil” [1, p. 236].


Memindahkan bangkai paus ke fasilitas riset juga tidak segampang itu. Pada tahun 2004, seekor sperm whale terdampar di pantai Taiwan. Setelah berhari-hari diskusi (kita manusia memang paling pintar menunda pengambilan keputusan penting!), bangkai paus itu akhirnya dipindahkan ke fasilitas riset di kota Tainan. Namun, sebelum mencapai lokasi, si paus meledak sendiri, menciprati jalanan dan sekitarnya dengan darah dan bagian-bagian tubuh yang sangat bau dan menjijikkan. 


Berikut adalah beberapa video yang menunjukkan apa yang JANGAN dilakukan dengan bangkai paus (tolong jangan lihat waktu sedang makan): 



 

   


 

Pustaka:


1.         Geraci, J.R. and V.J. Lounsbury, Marine Mammals Ashore: A Field Fuide for Strandings. 1993, Texas: Texas A&M University Sea Grant College Program.

No comments: