Wednesday, January 9, 2013

Perlukah memberi harga kepada sumber daya alam?



This article is the Indonesian translation of an older article titled ‘Do we need to put a price in natural resources?’ I wrote in September 2012. Happy New Year, by the way. May 2013 be beautiful, healthy, successful and peaceful for all of us.




Teman CI saya Matt Fox mengirimi saya artikel dari website Guardian ini yang ditulis oleh George Monbiot. Artikel tersebut membuat saya berpikir saat membuat judul artikel ini. Apa perlu kita menaruh price tag, harga untuk sumber daya alam? Dan juga, kenapa kita perlu memberi harga tersebut? Tidak bisakah kita membiarkan alam seperti apa adanya?
Dua tahun lalu saya akan setuju dengan Monbiot. Bahwa sepertinya kita tidak perlu menaruh harga pada hujan, pepohonan dan lumba-lumba; kok kayaknya gimana begitu. Tapi sekarang, walaupun saya kurang setuju dengan artikel tersebut, saya tetap merasa Monbiot ada benarnya.

Saya sebenarnya berharap yang sederhana saja, bahwa kita semua bisa hidup dengan alam dengan harmonis, seperti cara Zen. Saya inginnya adalah kebanyakan dari kita ada di tingkat kesadaran kita yang tertinggi, bahwa kita semua faham dan menghargai bahwa tiap mahluk di Bumi – bahkan di seluruh Semesta – saling berhubungan satu sama lain. Tapi sayangnya, tidak demikian ceritanya.

Saya cenderung setuju dengan valuasi sumber daya alam (yaitu: memberikan nilai kepada satu sumber daya alam tertentu), selama hal tersebut masuk akal. Tapi di sini triknya: saya bilang ‘memberikan nilai bagi sumber daya alam’, bukan ‘memberikan harga bagi sumber daya alam’. 



Nilai tidak selalu sama dengan harga

Karena saya berasal dari negara berkembang, saya – dengan rada nelongso – menyadari bahwa uang adalah bahasa yang dipakai banyak orang. Saat seseorang menyadari bahwa seekor hewan yang hidup atau sebuah ekosistem yang utuh memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dari nilai hewan tersebut jika mati (atau ekosistem tersebut jika hancur), maka orang tersebut akan mulai melindungi si hewan/ekosistem tersebut (dan bukannya merusak). 

Seperti yang sudah saya akui dalam
artikel yang lain di blog ini, saya bukan seorang ahli ekonomi. Namun saya memahami dan menghargai pentingnya ekonomi sebagai alat untuk mengelola sumber daya alam. Saya bahkan setuju dengan apa yang dikatakan Spangenberg tentang ekonomi: bahwa ekonomi biasanya dilihat sebagai ‘dalang di balik banyak masalah; tapi juga bisa menjadi kekuatan untuk memperbaiki dan menyelesaikan masalah dengan cara menciptakan dana untuk memperbaiki masalah tersebut’ (Spangenberg 2004, hal. 75)

Memang benar, ekonomi sampai sekarang adalah anak nakal. Maka, marilah kita ajak anak nakal ini untuk menjadi bagian dari solusi. Memang ada orang yang perlu melihat nilai suatu sumber daya alam dalam dolar (atau rupiah, atau rupee, atau apapun) sebelum dia menyadari pentingnya sumber daya tersebut. Wahana yang kita pakai untuk hal tersebut adalah ekonomi.

Begini: saya tidak punya pendapat khusus tentang REDD atan REDD Plus yang bagi saya terlalu rumit. Saya hanya tahu tentang penilaian wisata bahari, terutama penilaian ekonomi untuk wisata lumba-lumba di Lovina (dan kasus-kasus lain yang mirip Lovina di tempat lain yang saya ketahui). Maka dari itu, argumen-argumen dan kasus-kasus yang saya sampaikan di sini cukup sederhana dan – semoga – tidak ribet untuk dimengerti orang yang awam tentang ekonomi. Saya juga berharap agar penjelasan saya di sini tidak melenceng dari pakem dasar ekonomi, sehingga saya tidak dimarahi para ahli ekonomi. 


Saya akan mulai dengan kalimat ini: Nilai tidak selalu sama dengan harga. Mirip seperti apa yang Luke Brandon (dari buku Shopaholic) katakan, harga dan nilai itu adalah dua hal yang sangat berbeda.

Sebenarnya saya tidak tahu tentang hal ini sampai baru-baru ini saat saya mendalami perekonomian Lovina. Kebanyakan orang juga mungkin berpikir bahwa harga suatu barang itu sama dengan nilai barang tersebut. Misalnya anda hanya perlu mengeluarkan Rp 20 juta untuk motor gede gres 150cc. Produsen pasti sudah menaikkan harga untuk mencakup seluruh biaya produksi, plus keuntungan mereka. Tapi apakah mereka sudah memasukkan biaya kerusakan lingkungan gara-gara pabrik mereka? Apakah mereka sudah memperhitungkan polusi yang ditimbulkan selama pembuatan motor tersebut dan pengangkutannya hingga sampai ke konsumen? Sepertinya tidak.  

Dalam dunia yang ideal, kerusakan lingkungan gara-gara motor gede tersebut dapat dikurangi dengan cara mempromosikan kegiatan bersepeda. Selain itu produsen bisa juga memasukkan biaya untuk offset kerusakan lingkungan di dalam harga sepeda motor 150cc tersebut. Masalah apakah yang membayar offset tersebut produsen atau konsumen, itu di forum diskusi lain. Tapi kita juga perlu memahami berapa tambahan biaya yang harus dimasukkan ke dalam harga sepeda motor. Berapa sih nilai udara bersih, air bersih dan sumber daya alam lain di sekitar pabrik motor itu? Seberapa pentingnya sumber daya alam ini bagi kita? Nilai tersebut harus ditambahkan ke dalam harga sepeda motor, sehingga ada ganti rugi terhadap kerusakan lingkungan. Nah, untuk mengetahui berapa nilai sumber daya alam tersebut, kita perlu melakukan penilaian ekonomi sumber daya alam.

Para ahli ekonomi menggunakan beberapa cara untuk memahami nilai ekonomi, misalnya dengan konsep Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value), yang membagi nilai ekonomi suatu sumber daya alam ke dalam ‘nilai non pakai’ (non-use value) dan ‘nilai pakai’ (use value) (Tisdell & Wilson 2004; Stoeckl et al. 2011). Lihat gambar di bawah untuk penjelasannya:



Nilai pakai suatu sumber daya kemudian dibagi lagi menjadi dua: nilai pakai langsung (direct use value) dan nilai pakai tidak langsung (indirect use value). Contoh nilai pakai langsung adalah saat sebuah sumber daya dipakai langsung untuk kepentingan manusia, seperti kayu dan daun-daunan ramu dari hutan atau ikan dari laut. Pemakaian langsung bisa konsumtif (seperti penebangan kayu atau perikanan) atau non-konsumtif (seperti wisata). Nilai pakai tidak langsung timbul saat kita memberikan nilai pada satu sumber daya karena sumber daya tersebut secara tidak langsung berguna bagi kita. Contohnya: hutan melindungi cadangan air kita, terumbu karang melindungi kita dari erosi. Para ilmuwan sering menggunakan Pengeluaran Wisatawan (Tourist Expenditure) (Orams 2002; Mustika et al. 2012; Vianna et al. 2012), Input-Output model (Dwyer et al. 2000) dan harga pasar sebagai cara untuk memperkirakan pemakaian langsung suatu sumber daya alam. Beberapa ilmuwan lain menggunakan metode biaya alternatif (alternative cost method) dan metode biaya kesempatan (opportunity cost method) untuk memperkirakan nilai pakai tidak langsung sebuah sumber daya alam (misalnya hutan) (Hui et al. 2003).

Nilai non pakai sebuah sumber daya dibagi menjadi tiga: nilai pilihan (option value), nilai pewarisan (bequest value), dan nilai keberadaan (existence value). Nilai keberadaan terjadi saat kita menyadari pentingnya suatu sumber daya ‘hanya’ karena sumber daya itu ada di sana (misal: ‘Ya, bagus saja buat saya untuk tahu bahwa si lumba-lumba ada di Lovina sana’). Kita memiliki nilai pewarisan terhadap suatu sumber daya jika kita ingin sumber daya itu tetap ada untuk generasi mendatang (misal: ‘Saya ingin terumbu karang tetap ada untuk dinikmati oleh anak cucu saya’). Suatu sumber daya memiliki nilai pilihan jika kita ingin dapat menggunakannya suatu saat (misal: ‘Saya ingin hutan itu tetap ada sehingga bisa saya kunjungi suatu saat’). Para ahli ekonomi sering menggunakan metode Kemauan Membayar  untuk memperkirakan nilai non pakai sebuah sumber daya (Walpole et al. 2001; Mathieu et al. 2003).

Dari diagram tersebut di atas dapat kita lihat bahwa nilai suatu sumber daya tidak hanya melulu tentang harga. Kita dapat memberikan harga bagi seember ikan (nilai pakai langsung, konsumtif), di mana harga tersebut mencakup juga biaya si nelayan menangkap ikan dan keuntungannya. Namun, harga tersebut tidak akan mencerminkan nilai total seember ikan tersebut. Demikian juga, kita dapat memberikan harga bagi pemakaian air bulanan kita (nilai pakai langsung, konsumtif). Namun demikian, rekening PAM kita tidak akan mencerminkan nilai total air. Harga yang dibayarkan oleh wisatawan di Lovina saat melihat lumba-lumba selama dua jam tidak akan mencerminkan nilai total lumba-lumba di Lovina. Nilai sebuah sumber daya alam biasanya jauh lebih tinggi dari harga ‘published’nya.

Mengapa kita perlu memberikan nilai bagi sumber daya alam?

Setelah membaca argument-argumen di atas, saya harap anda dapat mengerti mengapa saya setuju dengan penilaian ekonomi suatu sumber daya alam. Salah satu alasannya adalah karena penilaian ekonomi tersebut – paling tidak – dapat membuat kita paham berapa kerugian ekonomi kita jika sumber daya tersebut musnah.

Vianna et al. (2012) memperlihatkan pentingnya penilaian ekonomi dengan membandingkan keuntungan ekonomi wisata selam dengan hiu di Palau versus perikanan hiu di tempat yang sama. Yang menang adalah wisata selam dengan hiu, dengan masukan ekonomi lebih dari 110 kali lipat dari perikanan hiu (USD 1.2 juta untuk wisata hiu vs USD 10,800 untuk perikanan hiu). Hal ini memperlihatkan bahwa hiu lebih bernilai saat dia hidup dibandingkan mati, paling tidak untuk masyarakat Palau. Orams (2002) juga sudah memperlihatkan bahwa wisata paus bongkok di Tonga menghasilkan devisa yang cukup tinggi bagi negara tersebut (USD 700,000 untuk tahun 2000). Saya sendiri memperkirakan bahwa Lovina menerima lebih dari USD 4 juta per tahun dari wisata lumba-lumba (Mustika et al. 2012). Riset Oram dan saya tidak membandingkan keuntungan wisata paus dan lumba-lumba dibandingkan perburuan paus (yang kurang lebih sepadan dengan contoh perikanan hiu di publikasi Vianna et al.). Namun demikian, kami memperlihatkan betapa sebuah desa/daerah/negara dapat mengalami kerugian cukup besar jika terjadi apa-apa dengan populasi paus dan lumba-lumba setempat (ingat juga bahwa Tonga dan Indonesia adalah negara berkembang).



Apakah ini artinya bahwa kita memberikan harga bagi seekor hiu/paus/lumba-lumba? Ya, dan juga tidak. Ya, karena pada akhirnya kita harus keluar dengan sebuah angka, bahwa seekor hiu/paus/lumba-lumba hidup bernilai USD XXX, sedangkan jika hewan itu mati, dia hanya bernilai USD XX. Vianna et al. (2012) memperkirakan bahwa 100 hiu hidup akan memberikan USD 200 juta selama 16 tahun (yang notabene adalah rata-rata jangka hidup seekor hiu). Secara kasar, tiap tahun seekor hiu hidup akan memberikan USD 125,000 untuk masyarakat Palau. Tapi hal ini tidak berarti bahwa harga seekor hiu hidup per tahun ‘hanya’ USD 125,000. Hal ini berarti bahwa tiap hiu yang hidup bernilai setidaknya USD 125,000 plus plus (a.l., karena peran hiu dalam rantai makanan, dll).

Kita yang bekerja di bidang pengelolaan lingkungan menyadari bahwa tidak ada itu yang namanya makan siang gratis di sector ini. Seseorang harus memberikan sarana dan dana agar upaya-upaya penyelamatan lingkungan tetap berjalan. Akhir-akhir ini, terutama di negara berkembang, sumber utama dana biasanya adalah donor asing baik dari pemerintah negara maju, lembaga PBB atau lembaga lain. Namun, para pengelola lingkungan sudah mulai melirik sumber dana lain, misal sektor swasta atau para pengguna. Untuk kegiatan seperti wisata hiu/paus/lumba-lumba/penyu, penggunanya adalah para wisatawan. Di sinilah pentingnya survey Kemauan Membayar karena kita dapat memahami berapa banyak seorang wisatawan mau mendukung kegiatan yang menunjang inisiatif-inisiatif lingkungan (misal: memperbaiki sistem daur ulang,  pengelolaan air limbah, patroli Kawasan Konservasi Perairan yang lebih baik, dll).

Namun demikian, menurut saya kita tidak bisa memaksa wisatawan untuk membayar ‘biaya pemeliharaan’. Itu tidak adil buat si wisatawan. Para pengguna yang lain (misalnya operator wisata) perlu juga membayar biaya perlindungan lingkungan. Di sini kita dapat menggunakan pendekatan ‘carrot/stick’. Operator yang melakukan kegiatan yang tidak lestari akan dikenai pajak. Sebaliknya, operator yang melakukan kegiatan yang lestari (atau sedang berusaha ke arah itu) akan diberi penghargaan dalam bentuk pengurangan pajak dll. Jika harga paket satu operator yang hijau lebih murah dibandingkan harga paket operator yang tidak lestari (karena pengurangan pajak dll), maka para wisatawan akan memilih operator yang lebih lestari.

Kembali ke pertanyaan awal: Perlukah ada harga untuk sumber daya alam? Saya bilang sih kita perlu memberikan penilaian ekonomi bagi sumber daya alam. Di mana valuasi sumber daya alam paling diperlukan; negara maju atau berkembang? Saya rasa keduanya, walaupun negara berkembang lebih penting sedikit. Pemerintah negara berkembang biasanya lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Mereka (dan lembaga-lembaga lain) perlu memahami bahwa ada harga yang harus dibayar jika sumber daya alam diperas habis-habisan demi ‘pembangunan’. Untuk memahami harga tersebut, kita perlu menghitung nilai sumber daya tersebut. Kita perlu melakukan penilaian/valuasi sumber daya alam dengan menyadari betul bahwa angka akhirnya bisa jadi tidak akan pernah setinggi nilai sejati sumber daya tersebut. Karena hidup kita yang berkualitas tergantung dari udara dan air bersih, hutan dan laut yang sehat, dll yang terkadang memang sulit dihitung.

Foto-foto dan diagram di artikel ini dibuat oleh saya. Diagram dimodifikasi dari beberapa sumber, termasuk Hui et al. 2003, Walpole et al. 2001, Tisdell &Wilson 2004, dan Stoeckl et al. 2011. 


Pustaka:

Dwyer, L., Forsyth, P., Madden, J. & Spurr, R. 2000, 'Economic Impacts of Inbound Tourism under Different Assumptions Regarding the Macroeconomy', Current Issues in Tourism, vol. 3, no. 4, pp. 325 - 363.
Hui, X., Yi, Q., Lin, Z. & Bu-zhuo, P. 2003, 'Assessment of indirect use values of forest biodiversity in Yaoluoping national nature reserve, Anhui province', Chinese Geographical Science, vol. 13, no. 3, pp. 277-283.
Mathieu, L. F., Langford, I. H. & Kenyon, W. 2003, 'Valuing marine parks in a developing country: a case study of the Seychelles', Environment and Development Economics, vol. 8, no. 02, pp. 373-390.
Mustika, P. L. K., Birtles, A., Welters, R. & Marsh, H. 2012, 'The economic influence of community-based dolphin watching on a local economy in a developing country: Implications for conservation', Ecological Economics, vol. 79, no. 0, pp. 11-20.
Orams, M. B. 2002, 'Humpback Whales in Tonga: An Economic Resource for Tourism', Coastal Management, vol. 30, no. 4, pp. 361 - 380.
Spangenberg, J. H. 2004, 'Reconciling sustainability and growth: criteria, indicators, policies', Sustainable Development, vol. 12, no. 2, pp. 74-86.
Stoeckl, N., Hicks, C. C., Mills, M., Fabricius, K., Esparon, M., Kroon, F., Kaur, K. & Costanza, R. 2011, 'The economic value of ecosystem services in the Great Barrier Reef: our state of knowledge', Annals of the New York Academy of Sciences,   pp. 113-133.
Tisdell, C. & Wilson, C. 2004, 'Economics of Wildlife Tourism', in Wildlife Tourism: Impacts, Management and Planning, ed. K. Higginbottom, CRC Tourism Australia, Melbourne, pp. 145-163.
Vianna, G. M. S., Meekan, M. G., Pannell, D. J., Marsh, S. P. & Meeuwig, J. J. 2012, 'Socio-economic value and community benefits from shark-diving tourism in Palau: A sustainable use of reef shark populations', Biological Conservation, vol. 145,  pp. 267-277.
Walpole, M. J., Goodwin, H. J. & Ward, K. G. R. 2001, 'Pricing Policy for Tourism in Protected Areas: Lessons from Komodo National Park, Indonesia', Conservation Biology, vol. 15, no. 1, pp. 218-227.

No comments: